Setelah Azka membersihkan diri, ia kembali ke kamar dan mendapati Vivian sudah tertidur lelap.
Ia tersenyum lembut, mengamati wajah tenang kekasihnya. Ia mengecup kening Vivian pelan, lalu berbaring di sampingnya, memeluknya erat sebelum ikut terlelap.
Keesokan harinya, Azka menepati janjinya. Ia menginstruksikan para pelayannya untuk menyiapkan sebuah ruangan khusus untuk Vivian melukis.
Ruangan itu sebelumnya adalah ruang baca yang jarang digunakan, kini disulap menjadi studio seni yang nyaman.
Berbagai macam kanvas, cat, kuas, dan peralatan melukis lainnya ditata rapi. Jendela besar di ruangan itu memastikan cahaya alami masuk dengan optimal.
Pagi itu, Vivian dibangunkan oleh Azka dengan ciuman lembut.
"Bangun, sayang. Aku punya kejutan untukmu," bisik Azka di telinga Vivian.
Vivian mengerjap-ngerjapkan mata, masih mengantuk. "Kejutan apa?" tanyanya dengan suara serak.
"Ikut aku," kata Azka sambil menggandeng tangan Vivian.
Azka membawa Vivian ke ruangan yang telah disiapkan. Begitu Vivian melihat ruangan itu, matanya berbinar.
Ia terkesima melihat ruangan yang kini dipenuhi dengan perlengkapan melukis.
"Ini… untukku?" tanya Vivian dengan nada tak percaya.
"Tentu saja. Aku sudah berjanji, kan? Sekarang kamu bisa melukis sepuasmu di sini," jawab Azka sambil tersenyum bangga.
Vivian memeluk Azka erat. "Terima kasih, Azka. Kamu yang terbaik," ucapnya dengan tulus.
Azka membalas pelukan Vivian. "Aku hanya ingin kamu bahagia, Viviku. Tapi ingat, kamu tetap tidak boleh keluar rumah tanpa izinku," ujarnya dengan nada yang melembut namun tetap tegas.
Senyum Vivian sedikit memudar, namun ia mengangguk mengerti.
Ia tahu ia masih terkurung, tetapi setidaknya ia memiliki kegiatan yang bisa mengalihkan kebosanannya.
Hari-hari berikutnya, Vivian menghabiskan waktunya di studio barunya. Ia melukis dengan tekun, menuangkan segala emosi dan perasaannya ke atas kanvas.
Lukisannya beragam, mulai dari pemandangan alam, potret, hingga abstrak. Azka sering mengunjunginya di studio, mengamati lukisan-lukisannya dengan kagum.
Suatu sore, saat Vivian sedang melukis, Azka datang dan duduk di sofa di sudut ruangan. Ia memperhatikan Vivian dengan seksama.
"Lukisanmu semakin bagus saja, Viviku," puji Azka.
Vivian tersenyum. "Terima kasih. Aku merasa lebih baik sekarang. Melukis membuatku lupa akan segalanya," jawabnya.
"Aku senang mendengarnya," kata Azka. Ia bangkit dari sofa dan mendekati Vivian.
"Tapi aku khawatir kamu terlalu fokus pada lukisanmu. Kamu jadi kurang istirahat."
"Aku baik-baik saja, Azka. Jangan khawatir," kata Vivian sambil tersenyum meyakinkan.
Azka mengangguk, meskipun ia masih merasa sedikit khawatir. Ia tahu Vivian masih merindukan kebebasan, dan ia takut kegiatan melukis hanya menjadi pelarian sementara.
Lalu melihat lukisannya sudah banyak, ia menginginkan lukisannya dipublikasikan ke galeri seni. Apalagi jika dosennya tau dan memberikan penghargaan pada Vivian.
"Azka aku ingin memamerkan lukisanku di galeri seni, kumohon" Pinta Vivian.
Azka pun terdiam sejenak lalu mengangguk setuju.
"Baiklah, Viviku," jawab Azka sambil tersenyum.
"Aku akan mengatur semuanya. Kau pantas mendapatkan pengakuan atas bakatmu."
Vivian bersorak gembira dan memeluk Azka erat. "Terima kasih, Azka! Kau yang terbaik!"
Di balik senyumnya, Azka merencanakan sesuatu. Ia tidak akan benar-benar membiarkan lukisan Vivian dijual kepada publik.
Ia akan "membeli" semuanya sendiri, melalui perantara, sehingga Vivian akan percaya bahwa lukisannya laku keras dan diapresiasi banyak orang.
Dengan cara ini, ia bisa tetap memiliki semua karya Vivian dan sekaligus memuaskan keinginannya untuk dipamerkan.
Azka segera menghubungi Ren dan memberikan instruksi rinci. Ren ditugaskan untuk menghubungi beberapa kolektor seni dan galeri kecil sebagai perantara.
Mereka akan berpura-pura tertarik dengan lukisan Vivian dan membelinya dengan harga yang telah ditentukan Azka. Uang yang digunakan tentu saja berasal dari kantong Azka sendiri.
"Pastikan Vivian tidak curiga sedikit pun," pesan Azka kepada Ren.
"Aku ingin dia percaya bahwa lukisannya benar-benar dibeli oleh orang lain."
Ren mengangguk mengerti. Ia akan menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya.
Sementara itu, persiapan pameran terus berjalan. Vivian sangat antusias dan terus melukis dengan semangat.
Ia bahkan menghubungi beberapa dosennya di kampus dulu dan mengundang mereka ke pameran. Ia berharap mendapat masukan dan apresiasi dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bird In Cage
RomanceVivian Zaline, seorang gadis yang terjebak dengan suaminya yang kejam. Ia mengalami KDRT di rumah tangganya. Setiap hari, ia memikirkan bagaimana caranya lari dan bersembunyi dari suaminya namun setiap ia ingin melarikan diri, suaminya selalu bisa m...