Hari pameran pun tiba. Gedung galeri seni telah dipenuhi oleh para tamu undangan, kritikus seni, dan kolektor.
Lampu-lampu sorot menyoroti lukisan-lukisan Vivian yang tertata rapi di dinding. Suasana begitu meriah dan penuh antusiasme, diiringi bisik-bisik kagum dan diskusi tentang seni.
Namun, di sebuah ruangan mewah yang terasa sunyi di tempat lain, Vivian duduk di depan televisi bersama Azka, menyaksikan pembukaan pamerannya sendiri.
Vivian mengenakan gaun putih sederhana, potongan lurus yang jatuh anggun di tubuhnya. Kainnya tampak lembut dan bersih, memberikan kesan polos namun tetap memancarkan kecantikan alaminya.
Meskipun tanpa perhiasan atau riasan berlebihan, aura Vivian tetap memikat. Namun, matanya memancarkan kesedihan yang mendalam.
Ia ingin sekali berada di sana, merasakan atmosfer galeri, melihat langsung interaksi orang-orang dengan karyanya. Ia ingin mendengar bisikan kagum secara langsung, bukan melalui layar kaca.
"Sayang, lihatlah, lukisanmu terlihat begitu mempesona di sana," kata Azka, mencoba menghibur Vivian sambil merangkul bahunya dengan posesif.
Ia mengusap lengannya dengan lembut, seolah memastikan Vivian tetap berada dalam jangkauannya.
Vivian tersenyum tipis, senyum yang lebih terasa getir daripada bahagia.
Ia melihat ke layar televisi, melihat lukisan-lukisannya terpajang dengan megah di antara dinding putih bersih galeri.
Ia mendengar suara pembawa acara memperkenalkan dirinya sebagai seniman baru yang menjanjikan, menyebutkan judul-judul lukisannya dengan nada profesional.
Ia melihat beberapa orang berhenti di depan lukisannya, mengamati dengan seksama, berdiskusi tentang penggunaan warna, komposisi, dan pesan yang ingin disampaikan.
"Aku berharap aku bisa berada di sana… merasakan sendiri atmosfernya," bisik Vivian pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Ia memeluk dirinya sendiri, seolah merasakan dingin meskipun berada di dalam ruangan yang hangat.
Azka mengeratkan rangkulannya, sedikit lebih erat dari sebelumnya. "Kau ada di sini bersamaku, Viviku. Itu yang paling penting," ujarnya, nadanya melembut namun terdengar sedikit memaksa.
"Lagipula, aku sudah memastikan semua lukisanmu akan dibeli. Jadi, kau tidak perlu khawatir soal apa pun."
Vivian menoleh ke arah Azka dengan kerutan di dahinya. "Dibeli? Maksudmu… semuanya?" tanyanya dengan nada bingung dan sedikit curiga.
"Tentu saja. Semua orang sangat terpukau dengan lukisanmu. Mereka berebut untuk memilikinya," jawab Azka dengan senyum lebar yang dipaksakan.
Matanya menghindari tatapan Vivian, seolah menyembunyikan sesuatu.
Meskipun merasa ada sesuatu yang ganjil dengan penjualan yang begitu cepat dan menyeluruh, Vivian memilih untuk mengabaikan perasaan itu.
Ia ingin menikmati momen ini, meskipun hanya melalui layar televisi. Ia ingin percaya bahwa karyanya benar-benar dihargai, meskipun dalam hatinya ada keraguan yang mulai tumbuh.
Di layar televisi, Vivian melihat salah satu dosennya dari kampus dulu diwawancarai. Dosennya memberikan pujian yang tulus dan mendalam untuk Vivian dan karyanya.
"Vivian memiliki bakat yang luar biasa. Ia memiliki kepekaan yang mendalam terhadap emosi dan mampu menerjemahkannya ke dalam bentuk visual yang begitu kuat. Ia memiliki gaya yang unik dan berani mengeksplorasi berbagai teknik. Saya yakin ia akan menjadi salah satu seniman besar di masa depan," kata dosennya di televisi, dengan nada penuh keyakinan.
Air mata haru dan bercampur kesedihan mengalir di pipi Vivian.
Ia merasa terharu dan bangga mendengar pujian tulus dari dosen yang sangat dihormatinya.
Namun, air mata itu juga mengandung kesedihan karena ia tidak bisa menerima pujian itu secara langsung, di tengah-tengah orang-orang yang mengagumi karyanya.
Azka mengusap air mata Vivian dengan ibu jarinya, lalu mengecup keningnya dengan lembut. "Kau dengar itu? Mereka semua mengagumimu. Aku sangat bangga padamu, Viviku," bisik Azka, suaranya bergetar karena emosi.
Vivian memeluk Azka erat, mencari kehangatan dan kepastian di pelukannya.
"Terima kasih, Azka. Terima kasih telah selalu mendukungku," ucapnya dengan tulus, meskipun dalam hatinya mulai tumbuh benih keraguan dan pertanyaan.
Azka Marquel
KAMU SEDANG MEMBACA
Bird In Cage
RomanceVivian Zaline, seorang gadis yang terjebak dengan suaminya yang kejam. Ia mengalami KDRT di rumah tangganya. Setiap hari, ia memikirkan bagaimana caranya lari dan bersembunyi dari suaminya namun setiap ia ingin melarikan diri, suaminya selalu bisa m...