Double L part 1

31 2 0
                                    

Lintang.

Bel berbunyi nyaring ketika napasku terengah di depan gerbang yang sudah tertutup. Sial. Aku mengumpat pelan. Ini gara-gara bangun kesiangan. Ini gara-gara Pak Min pulang kampung. Ini juga gara-gara bis yang penuh sesak. Aku berhenti mengeluh saat perutku berbunyi. Aku belum sempat sarapan. Sebenarnya ada apa dengan hari Senin? Kenapa aku se-sial ini.

Aku menatap lesu pos satpam yang kosong. Aku tidak mungkin memanjat pagar tinggi ini. Bukannya aku tidak bisa, aku terbiasa malah, tapi tidak saat memakai rok seperti sekarang. Aku masih memutar otak ketika seseorang datang. Ia sudah bersiap memanjat pagar tinggi itu. Tanganku reflek menarik tas punggungnya.

"Apaan sih!" Bentaknya kesal. Jelaslah, ia hampir jatuh karena tarikanku.

"Aku gimana?" Tanyaku polos.

"Gimana apanya?"

"Aku pakai rok!" Aku mulai gemas.

"Terus apa hubungannya denganku?" Ia memasang wajah datarnya. Rambutnya berantakan, baju seragamnya tidak dimasukkan celana. Tapi dia wangi.

"Aku nggak mungkin manjat pagar ini." Aku mulai panik. Upacara hampir selesai. Dan aku tidak mungkin bolos di jam pertama.

"Eh? Eh? Mau kemana?" Tanganku ditarik tiba-tiba. Ia terus melangkah ke samping gedung sekolah. Ia diam dan tidak menjawab. Kalau aku tidak mengenalnya sejak kecil, mungkin sudah kutimpuk sepatu karena seenaknya menarik tanganku.

"Naik." Ia membungkuk, aku menatapnya ragu.

"Buruan!" Serunya galak.

"Aku pakai rok!" Sergahku. Aku menatap pagar dinding di depanku sambil menelan ludah.

"Ribet ya," gerutunya. Ia berdiri dan tanpa aku sangka ia memeluk pinggangku dengan kedua tangannya.

Aku tidak sempat memberontak atau marah. Semuanya terjadi begitu cepat. Wangi tubuhnya membuatku lupa diri. Begitu memabukkan.

"Pegangan ke tiang itu! Kamu pikir kamu ringan?" Perkataannya membuatku sadar ketika aku sampai di atas dinding, aku malah melamun.

Aku cepat-cepat loncat ke bawah. Disusul dia yang dengan mudah melompati pagar dinding itu tanpa kesulitan yang berarti. Aku menghela napas ketika tidak ada satu pun guru piket yang patroli. Aku mengelus dada dan hendak melangkah ke kelasku.

"Bilang apa? Lupa ya?"

Aku terhenti dan menoleh. Ia menatapku jumawa.

"Makasih." Sambil tersenyum yang kubuat-buat. Ia mengangguk samar dan melewati bahuku. Menyebalkan. Dari dulu dia memang menyebalkan. Semakin panjang saja daftar kesialanku pagi ini.

***

Aku menusuk bakso di mangkokku dengan ganas. Aku butuh pelampiasan kekesalanku sepagi ini. Bagaimana mungkin setelah daftar panjang kesialanku tadi, seperti belum lengkap tanpa buku PR matematika yang tertinggal di rumah. Mata pelajaran dengan guru paling ditakuti. Dan sebagai hukuman, Bu Nur memberi pekerjaan tambahan dua kali lipat.

"Sini.. kasihan baksonya." Rahma menarik mangkokku dan melahap baksoku yang masih utuh.

"Lagi PMS ya?" Ike menatapku prihatin. Aku semakin memanyunkan bibirku.

"Hari ini sial banget," keluhku.

"Kenapa lo?" Di sela kunyahannya, Rahma bertanya.

"Sial pokoknya sial." Aku malas menjelaskan.

"Ketemu Lutfi?" Ike berkata polos.

"Kok lo tahu? Iya sih tadi pagi pas telat gue ketemu dia." Aku kadang kagum dengan tebakan Ike yang selalu benar.

Double LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang