Double L part 12

17 0 0
                                    

Malam merangkak naik ketika Lutfi menepikan mobilnya ke sebuah lapangan--kalau aku tidak salah kira. Karena memang gelap, tidak ada pencahayaan apapun selain lampu mobil. Aku belum bertanya, masih menduga. Aku hanya ikut turun ketika Lutfi keluar dari mobil.

"Ini di mana?" Akhirnya aku bertanya. Lutfi tanpa menoleh, menjawab, "Tempat di mana lo bisa lihat bintang."

"Di balkon juga bisa lihat bintang," sergahku.

"Ck! Bawel." Ia lompat ke atas kap mobil. Aku gemas menatapnya.

"Sini," tiba-tiba ia mengulurkan tangannya.

"Nggak mau," sungutku.

"Ya udah. Di situ aja terus. Lo nggak takut kodok, kan?"

"Kodok ya?" Aku menggigit bibirku. Aduh, kenapa harus kodok?

"Lama lo!" Lutfi lompat turun dan mengangkat tubuhku. Tahu-tahu aku sudah terduduk di atas kap. Sesaat aku merasa Lutfi mengeratkan tangannya di pinggangku sebelum kembali ke tempatnya semula. Atau hanya perasaanku saja?

Kembali hening, karena aku dan Lutfi memilih untuk menatap langit yang entah malam ini kenapa begitu cerah. Dengan hati-hati aku menolehkan kepalaku. Lutfi menutup matanya dan tersenyum. Aku terus memandanginya sampai mata itu perlahan terbuka.

"Eh, lo serius mau ke Amsterdam?" Lutfi langsung menoleh, membuatku tertangkap basah sedang menatapnya sedikit terkejut.

"Ayah udah ngurus semuanya."

"Kita sama-sama pergi kalau begitu," katanya.

"Maksudnya?" Aku tercekat.

"Gue juga bakal pergi. Tapi nunggu Siska membaik."

"Kemana?" Aku nyaris kehilangan suaraku.

"Ke mana aja." Lutfi tersenyum. Jantungku mencelos.

"Serius tahu!" Aku mencubit lengannya.

"Lo nanti baik-baik di sana ya." Lutfi menangkap tanganku yang tadi mencubitnya. Ia ingin aku pergi. Kenapa aku berharap Lutfi akan menahan kepergianku?

"Kok nangis?" Tangannya yang lain bergerak untuk mengusap pipiku. Bukannya berkurang, airmataku pecah seketika. Aku hanya menunduk.

"Kamu tahu sesuatu?" Setelah mengumpulkan nyaliku, aku mendongak menatapnya.

"Apa?"

Pilihanku hanya dua sekarang. Mengatakan segalanya atau berhenti sekarang.

"Aku berangkat minggu depan." Aku memilih pilihan yang kedua. Nyaliku tidak sebesar itu untuk mengatakannya. Aku menunggu reaksi Lutfi selanjutnya.

Wajah sendunya menatapku begitu dalam, "Minggu depan? Tiga hari lagi?"

"Lo nggak nunggu pengumuman kelulusan?" Lanjutnya.

"Nggak. Nanti biar Pak Min yang kirim ke sana." Aku menguasai diriku ketika mengatakannya.

"Lihat ke atas coba," katanya. Mengalihkan topik pembicaraan.

"Bintang yang di samping bulan," jarinya menunjuk ke atas. Mataku ikut lari ke sana.

"Bintang itu, walaupun bersinar paling terang, sebenarnya dia udah meledak lama.. sangat lama mungkin."

"Kamu sok tahu." Aku tertawa.

"Siapa yang tahu?" Lutfi mengangkat bahu.

"Kalau udah meledak, kapan dia jatuh?" Aku tahu jika pembicaraan ini sebenarnya bukan tentang "bintang" di atas sana. Melainkan..

Double LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang