Double L part 8

11 0 0
                                    

Bel berbunyi nyaring. Sedangkan gerbang mulai ditutup. Aku mempercepat lariku. Tinggal beberapa meter lagi. Konyol sekali jika aku telat apalagi ini hari senin.

"Ayo, lebih cepat!" Satu tanganku ditarik seseorang yang datang dari belakangku. Mau tak mau aku ikut terseret.

"Dika?" Aku mengerutkan dahi. Sejak kapan seorang Dika datang terlambat?

"Pak, Pak! Jangan ditutup dulu!" Tepat ketika kami sampai, gerbang sudah ditutup.

"Kalian ini.. upacara terakhir kalian hlo ini." Pak Umar berbaik hati membuka kembali gembok gerbang.

"Janjian telatnya?" Lanjutnya.

"Eh?"

"Kan biar romantis, Pak." Dika meringis.

"Sudah buruan nyusul ke lapangan." Katanya tegas. Setelah mengangguk terimakasih aku langsung berlari ke lapangan. Tapi, memang sedang sialnya, kami dihadang guru piket.

"Eh mau kemana? Datang terlambat mau gabung di barisan? Enak ya? Sana, kalian berdua baris di dekat tiang bendera, menghadap ke timur!" Bu Beti berkacak pinggang. Aku berjalan menunduk menuju tempat yang ditunjuk Bu Beti. Dika hanya nyengir sejak tadi.

Aku menunduk dalam. Antara malu dan menghindari teriknya matahari. Keringatku mulai menetes. Sementara di atas podium kepala sekolah masih menyampaikan entahlah. Dika yang berdiri di sampingku nampak tenang saja. Dengan ragu aku berpegangan pada satu lengannya. Aku mengerjapkan mata ketika pandanganku mengabur.

"Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?" Aku mendengus pelan mendengar Dika yang terlalu percaya diri. Kepalaku pusing mendengarnya.

Kuseka keringat di pelipis dan saat itu aku melihat samar-samar seseorang berlari ke arahku. Semakin dekat semakin aku tidak bisa melihatnya. Lalu semuanya gelap.

***

Rahma dan Ike memapahku kembali ke kelas. Aku yang mengotot tidak mau berlama-lama di UKS. Aku tidak suka bau obat-obatan. Kelas nampak sepi ketika aku melangkah masuk. Penampilanku sudah acak-acakan, aku tahu itu.

"Kok bisa pingsan tadi?" Ike bertanya cemas ketika aku sudah duduk.

Aku menangkupkan wajahku ke meja, "Belum sarapan."

"Gue beliin makan ya? Lo mau apa?" Rahma menyahut cepat. Aku menggeleng.

"Dika yang bawa gue ke UKS?"

Ike dan Rahma saling berpandangan.

"Bukan," jawaban mereka kompak.

"Terus siapa?"

"Lutfi.. Bahkan sebelum lo jatuh, Lutfi udah nangkap lo." Rahma yang menjawab.

"Sumpah, dia tadi kelihatan.. keren." Ike menggigiti kukunya. Aku memijat pelipisku melihat kelakuannya.

"Eh? Lo mau kemana?" Aku memaksakan diri untuk bangkit. Rahma mencekal lenganku. Aku menepis tangannya pelan. Dengan sedikit terhuyung aku melangkahkan kaki keluar kelas. Ike dan Rahma berlari menyusulku. Mereka menggamit kedua lenganku. Aku beruntung mempunyai mereka. Bahkan mereka tidak berisik bertanya macam-macam, hanya mengikuti kemana kakiku melangkah.

Sosok yang kucari muncul beberapa meter di depanku. Aku tersenyum lemah. Tapi sepertinya ia tidak menyadari kalau aku sedang menatapnya. Ia sedang berjalan sambil membaca sebuah buku. Wajahnya terlihat serius. Tapi ketika seseorang muncul dan menggelayut di bahunya, wajah itu berubah sumringah. Aku tertegun dan menghentikan langkahku. Mereka tertawa bersama entah membicarakan apa. Seakan kemarin Siska tidak melukai hati Lutfi. Seolah mereka memang baik-baik saja. Tiba-tiba saja hatiku sesak melihatnya.

Double LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang