"Lo kesambet apa gimana nih?" Rahma membuyarkan lamunanku. Bisa-bisanya aku melamun di tengah keramaian kantin.
"Mikirin Lutfi tuh," Ike memandangku curiga.
"Kalian sok-tahu!" Cibirku tak mau kalah.
"Udah lah, Ke. Dia malu aja ngakuin sekarang." Rahma mengedip ke arah Ike.
"Ngaku apaan?" Sergahku. Mereka kompak memutar bola mata.
"Ngaku kalau lo kegatelan sama Lutfi!" Meja di depanku digebrak sebuah tangan dari arah belakangku.
"Lo bisa kan jaga mulut lo? Lo cewek bukan?" Aku berdiri tidak terima. Semua mata kini tertuju ke arahku. Siska menatapku sinis.
"Lo seharusnya ngaca! Lo siapa, Lutfi siapa!" Siska menekan telunjuknya ke name tag-ku.
"Oh, gue sih masih punya harga diri ya. Nggak kayak cewek yang udah selingkuh terus masih ngejar-ngejar Lutfi. Nggak tahu malu!"
Plak! Satu tangan melayang ke pipiku. Ike dan Rahma maju, namun aku menahannya. Biar, kalau urusan ini sampai di meja BP, cukup aku, tidak dengan kedua sahabatku.
"Lo berani ngomong gitu?" Siska menarik kerah bajuku. Sedikit pun, aku tidak gentar. Aku balas menatapnya tajam.
"Segitu doang yang lo bisa? Main tampar? Pecundang." Aku tahu aku semakin menyulut emosinya. Sudah terlanjur.
"Jauhi Lutfi atau--"
"Atau apa?" Tantangku.
"Lo lihat nanti." Siska menyentak kerahku lantas berjalan meninggalkan kantin. Cewek sialan!
"Lo kenapa nggak tampar balik sih?" Rahma mengepalkan tangannya gemas.
"Pipi lo sakit banget ya?" Ike menatap prihatin.
Aku menghela napas. Semua mata yang memandangku kini perlahan kembali dengan tujuan awal mereka ke kantin.
"Tuh cewek nggak pernah dicabein mulutnya!" Rahma masih gemas. Dengan kejam ia menusuk siomay di piringnya dengan garpu.
"Lain kali, kalo lo ditampar, tampar balik. Kanan-kiri kalau perlu." Ike kompak mendukung Rahma.
***
"Lo ada masalah apa sama Siska?" Sebuah suara mengejutkanku. Aku melamun di balkon. Aku tidak sadar jika Lutfi juga ada di balkon rumahnya.
"Nggak ada," jawabku.
"Bohong."
"Iya, beneran nggak ada." Kilahku.
"Pipi lo masih sakit?" Tanyanya. Mataku membelalak kaget.
"Coba lihat,"
"Apanya?" Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Ck! Pipi lo siniin, gue mau lihat masih merah apa nggak." Katanya gemas. Aku mau saja menuruti ucapannya dengan melangkah ke samping balkon. Ia juga melakukan hal demikian.
"Sakit?" Tangannya terulur dan menyibak rambutku yang sengaja kugerai untuk menutupi pipi kananku.
"Lumayan. Tapi udah nggak apa-apa." Aku sedikit canggung. Tangannya masih menyentuh pipiku dengan lembut. Ya Tuhan, aku tidak berani menatap mata teduhnya.
"Besok-besok kalau Siska cari masalah, lo harus lapor ke gue!" Ada gurat emosi di wajahnya.
"Berlebihan." Aku menepuk tangan kirinya yang ada di pipiku. Lutfi menarik tangannya tapi terhenti ketika telapak tangan kami saling bertaut. Aku menatap tangan kami dengan perasaan yang tak terdefinisikan. Aku hanya merasa bahwa semuanya terasa begitu dekat. Apa nama perasaan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Double L
RomanceJust open, read, and create your own imagination. How this story spread, it depends on your way.