Pagi hari aku dikejutkan Bunda yang masuk ke kamarku membawa dua koper besar. Aku yang baru bangun mengucek mata sambil menguap.
"Anak perawan kok bangunnya siang sih." Bunda sengaja menyindir, disibaknya gorden jendela. Aku menyipit oleh cahaya yang silau.
"Bundaaa.. ini baru jam berapa.." Kembali kubenamkan wajahku di bawah bantal.
"Siapa suruh pulang tengah malam?" Bantal di atasku ditarik. "Bunda nikahkan kalian berdua baru tahu rasa."
Mau! Banget!
"Eh?"
"Pesawatnya berangkat nanti malam, Sayang." Bunda membuka lebar-lebar pintu lemariku.
"Bukannya besok ya, Bun?" Protesku.
"Kamu salah dengar kali," katanya sambil terkekeh. Bunda menumpuk beberapa bajuku di atas kasur dan membuka salah satu koper.
"Bunda--" rajukku.
"Kamu ragu, Sayang?"
"Bukan begitu.."
"Kamu berat ninggalin Lutfi?"
"Bun--"
"Bunda tahu, Sayang." Bunda memotong. Tangannya yang melipat baju berhenti dan sekarang menatapku.
"Bunda tahu apa?" Aku menggigit bibir cemas.
"Bukan sekarang, Sayang. Bunda tidak melarangmu untuk mencintai seseorang. Tapi tidak untuk sekarang." Bunda menghela napas.
"Kenapa?" cicitku.
"Bunda mau kamu fokus ke masa depan kamu dulu. Soal cinta, Bunda yakin Lutfi mau menunggu." Bunda mengusap pipiku lembut.
"Seandainya memang seperti itu, Intan akan sangat bahagia." Aku menunduk, menyembunyikan air mata yang ingin menetes.
"Apa yang kamu takutkan?" Bunda merengkuhku. Aku terisak di bahunya.
"Lutfi mencintai orang lain, Bun."
"Dia mencintaimu." Bunda mematahkan kalimatku.
"Tapi dia--"
"Dia amat mencintaimu." Kalimat Bunda membungkamku.
***
Balkon rumahnya terlihat sepi. Saat aku mengetuk pintunya berkali-kali juga tidak ada yang membukakan. Dan kali ini saat aku mencoba meneleponnya, selalu operator yang menjawab.
"Lo telepon siapa sih?" Suara Rahma menginterupsi. Aku menurunkan ponsel dari telingaku. Untuk sementara aku menyerah. Aku mencoba mengirim pesan untuknya.
"Siapa lagi emangnya," sahut Ike. Aku menatap sebal ke mereka berdua.
"Lo udah yakin mau pergi?" Mengabaikan pertanyaan tadi, Rahma memasang wajah sedihnya.
"Lo tega sama kita." Ike mengerucutkan bibirnya.
Aku menggenggam tangan mereka dengan kedua tanganku, "Gue juga berat. Tapi ini keputusan yang memang harus gue ambil."
"Baik-baik di sana, ya." Ike merangkulku begitu juga dengan Rahma.
"Janji, ya, kita bakal sukses. Kita bakal ketemu lagi." Ike berkata di sela isak tangisnya. Aku mengusap punggungnya.
"Iya, janji."
Aku menangis untuk sebuah perpisahan, entah yang ke berapa.
***
Langit menggelap dan hujan mengguyur ibukota. Lampu di jalan mulai menyala, yang pendarnya memantul indah di genangan air. Halte-halte terlihat penuh oleh orang-orang yang menunggu bus. Payung-payung terkembang seiring napak kaki yang terus melangkah meninggalkan decak air. Aku sesaat bisa lupa kalau semuanya memang tidak abadi. Tidak akan ada makna perpisahan. Pun tidak akan ada kehilangan. Hidup tidak akan lengkap tanpa keduanya.
Kutatap layar datar di tanganku yang gelap total. Entah sudah berapa pesan singkat yang aku kirimkan untuknya. Tapi setiap menitnya tidak pernah membawa pesan balasan yang kutunggu. Lutfi kemana? Khawatir melandaku. Kugeser layar hingga menyala. Mungkin satu pesan singkat lagi.
"Minum, Sayang." Sebuah botol air mineral disodorkan di depanku. Aku mendongak menatap Bunda.
Aku meraihnya, meski aku sebenarnya tidak haus.
"Lutfi belum bisa dihubungi?" Seperti mengerti raut wajahku, Bunda bertanya lembut. Aku menggeleng kecewa.
"Mungkin HP-nya lowbat." Bunda tersenyum seraya menyelipkan poni ke belakang telingaku.
"Berapa menit lagi, Bun?" tanyaku cemas.
Bunda melihat jam di pergelangan tangannya, "sepuluh menit lagi."
Tanpa sadar kakiku bergerak gelisah. Aku membenahi posisi dudukku yang mendadak terasa tidak nyaman. Perasaan macam apa yang sedang menguasai hatiku? Harapan? Apakah aku sedang berharap?
Aku kembali ke ponselku yang sudah kembali gelap. Tanpa sadar aku menggenggamnya begitu erat. Seandainya bisa, aku ingin berlari mencari Lutfi sekarang juga. Aku ingin menatap mata sendunya. Memeluknya sekali lagi sebelum aku pergi.
Suara dari pengeras suara memberitahukan bahwa pesawat yang akan kutumpangi akan berangkat, sedikit menyentakku. Bunda yang mengerti, tersenyum mengajakku beranjak. Kuhela napas dan kumasukkan ponselku ke dalam tas. Sudah. Sudah cukup. Sudah waktunya aku pergi.
Setiap dua langkah aku selalu menoleh ke belakang. Meski di sana hanya meninggalkan lalu-lalang orang. Sedang yang aku tunggu tidak pernah muncul di sana.
Lutfi tidak mencintaiku, Bunda.
***
Sumpah. Ceritanya pasti garing banget, ya?
Harap maklum ya kalo typo bertebaran di mana2. Karena aku nulisnya di hp, hihi. Udah dikumpulin jd satu dan diedit di lepy tp males mau mindah hp. Wkwk.
Oh ya, aku newbie di sini. Jangan dibully yak :v
Cerita ini belum punya ending sebenarnya. Mau nyelesain tp kemarin ujian take home semua. *curhat*
Thx somuch yg udah baca, like dan comment. *Iya, kalo ada*
Oke. See you, then.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double L
RomanceJust open, read, and create your own imagination. How this story spread, it depends on your way.