Double L part 11

7 0 0
                                    

Pukul tujuh malam kami memutuskan untuk pulang setelah Putri merengek minta boneka beruang yang super besar. Kalau Putra cukup membeli satu set lego.

"Iya, Mbak? Iya ini aku udah deket. Mbak udah di rumahku?" Aku beralih menatap Lutfi. Ia nampak tenang, meski tangannya terlihat mencengkeram stir.

Mbak Salma terlihat berdiri di depan gerbang rumahku. Ia segera menghampiri begitu mobil berhenti. Samar, aku mendengar Lutfi menghela napas.

"Coba pikirkan baik-baik, ya. Ini yang terakhir aku bilang ke kamu. Kalian tetap sedarah, tetap saudara sedarah." Aku memelankan suaraku agar tak terdengar oleh Putra.

Pintu sampingku terbuka. Mbak Salma muncul di pintu, "Aduh, maaf sekali, Mbak jadi merepotkan kam--kalian." Seraya mengambil alih Putri yang tertidur di pangkuanku dan menatap Lutfi ragu.

"Dadah, Om! Kapan-kapan main lagi ya?" Sebelum loncat turun, Putra berseru sambil merangkul Lutfi dari belakang. Aku tahu dan bisa merasakan jika Mbak Salma mematung takjub di sampingku. Ada kehangatan yang tiba-tiba menyeruak.

"Pasti, Jagoan!" Lutfi mengacak rambut Putra penuh kasih sayang.

"Sudah malam, Sayang. Ayo turun." Mbak Salma membuka pintu belakang.

"Terimakasih, Intan.. Lutfi juga." Mbak Salma bahkan hampir menangis saat mengatakannya. Aku mengangguk dengan lega, entah kenapa. Mobil Mbak Salma berlalu meninggalkan rumahku.

Aku tersadar oleh bunyi pintu yang tertutup. Lutfi sudah keluar dari mobil. Aku turun mengejarnya.

Dengan sengaja aku menghalanginya yang hendak membuka gerbang. Ia menaikkan satu alisnya, bertanya ada apa.

"Mau bilang sesuatu?" Kataku memancing.

"Well, makasih. Udah, kan? Sekarang lo minggir." Katanya tanpa mau basa-basi.

"Bukan itu." Aku mengerucutkan bibir.

"Terus apa?"

"Kamu pikir lagi." Desakku.

"Ck! Lo ribet ya." Ia mengacak rambutnya dengan kesal.

"Ya udah deh. Nggak penting kok." Aku tersenyum pahit sebelum berbalik pergi. Tapi langkahku tertahan, tanganku dicekal oleh Lutfi. Aku berbalik dan mulutku yang hendak bertanya terhenti ketika Lutfi memelukku. Aku lupa caranya bernapas seketika. Aku bisa merasakan denyut jantungnya yang teratur. Kedua tanganku mendadak kaku.

"Kamu kenapa?" Tanyaku hati-hati.

"Gue nggak tahu harus berterimakasih gimana ke lo.." jawabnya lirih.

Aku tersenyum. Aku kira Lutfi ingat dengan hari ini. Karena aku sendiri juga hampir lupa.

"Cukup menjadi Lutfi yang nggak menyebalkan." Aku menepuk-nepuk pundaknya.

"Oh, itu udah jadi peran gue." Katanya datar. Aku tidak tahan untuk tertawa. Aku merasa pelukannya di tubuhku lepas. Dan aku merasa kehilangan.

"Lucunya dimana?" Ia mengerutkan alis, yang membuatku semakin terpingkal. Dan ketika aku sibuk tertawa, aku luput memperhatikan jika seseorang sedang berdiri menatap kami berdua.

"Siska?" Lutfi nampak terkejut ketika Siska melangkah mendekat. Tawaku langsung tersumpal.

"Kamu kapan datang?"

Bahkan Lutfi memanggilnya dengan 'kamu'. Aku menghela napas dan berbalik. "Aku duluan ya. Mau mandi."

"Tadi naik taksi. Mobil lagi di bengkel." Jawaban Siska mengalihkan perhatian Lutfi.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" Lutfi bertanya khawatir.

"Aku baik-baik aja, Lutfi Sayang. Dokter juga bilang begitu." Siska menggamit kedua lengan Lutfi.

Double LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang