Double L part 3

10 1 0
                                    

Di dunia ini nggak ada yang bisa menerimaku. Semuanya palsu.

Kelebetan kalimat itu terus mengganggu pikiranku sepanjang hari. Rahma dan Ike bahkan memandangku dengan bingung. Mereka juga ragu bertanya melihat aku yang diam. Sampai bel pulang sekolah, aku masih memikirkan kalimat itu. Kenapa aku tiba-tiba bersimpati dengan Lutfi?

Aku berjalan sendiri di sepanjang koridor setelah jam tambahan selesai. Sekolahan sudah sepi. Tinggal beberapa anak yang nongkrong entah membicarakan apa. Tapi langkahku terhenti saat melintas di lapangan basket. Ada Lutfi yang mendrible bola di sana.

"Kenapa belum pulang?" Lutfi bertanya seraya membelakangiku. Apa dia melihatku dari tadi?

"Pak Min belum jemput?" Tanyanya lagi.

"Udah." Jawabku.

"Ya sudah, sana pulang. Tunggu apalagi?" Usirnya.

"Kamu nggak pulang?" Tanyaku hati-hati. Takut menyinggungnya meski ini hanya pertanyaan biasa. Lutfi membanting bolanya ke lantai lalu dibiarkan menggelinding entah kemana.

"Sejak kapan lo peduli? Nggak usah sok peduli! Gue nggak butuh." Bentaknya. Aku tahu ia sangat marah. Aku melangkah mundur sebelum berbalik pergi. Aku cepat pergi sebelum ia melihat aku menangis. Dan entah kenapa hatiku sakit mendengarnya. Lutfi memang sudah berubah. Apalagi yang aku harapkan? Mungkin aku ditakdirkan untuk membencinya. Bukan menjadikannya teman. Ia tidak butuh teman sepertiku yang terlalu banyak tanya.

***

"Pagi, Intan Cantik." Seseorang menyamai langkahku. Siapa lagi kalau bukan Dika?

"Lo nggak capek?" Tanyaku malas. Koridor masih sepi.

"Buat kamu sih nggak capek." Katanya sok manis. Dika memang ganteng. Tapi kenapa aku malas untuk meliriknya. Banyak cewek-cewek yang menatapku ganas ketika Dika datang menyapaku.

Bugh!

Bugh!

Langkahku terhenti dan menoleh ke sumber suara yang ternyata dari lapangan basket. Di sana nampak Lutfi sedang memukul seorang murid dengan garang. Tanpa menunggu, aku segera berlari ke lapangan. Dika kunyuk juga ikut menyusulku.

"Udah gue peringatkan berkali-kali. Dan ini yang ketiga kali gue ngelihat lo malak!" Lutfi mencengkeram kerah orang itu. Si Bimo. Ya aku hapal wajah itu.

"Kenapa diam? Lo nggak ngerti kan gimana orangtua mereka susah payah cari uang? Dan lo seenak jidat main palak!" Lutfi berteriak seraya mendorong Bimo hingga tersungkur di lantai aspal. Beberapa murid tampak bergerombol penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi mereka tidak berani mendekat. Jelaslah, semua orang takut melihat Lutfi kalau sedang mengamuk.

"Dam, aduh tarik Lutfi dong." Aku menyenggol lengan Damar yang merupakan sahabat paling dekat Lutfi.

"Percuma, Tan. Biarin. Lutfi di posisi yang benar kok." Aduh, aku menepuk jidat mendengar jawaban Damar. Ya tapi bukan dengan berkelahi juga. Kan bisa dibicarakan baik-baik.

"Lutfi, cukup!" Aku turun tangan sendiri, menahan gerakan Lutfi yang hendak memukul Bimo lagi.

"Udah ya. Cukup." Suaraku melunak. Tanpa sadar aku memeluknya. Ia juga diam dan tidak memberontak.

"Lo lupa sama kalimat gue kemarin?"

Aku memejamkan mata gemas. Tentu aku sangat ingat. Berhenti peduli, Intan. Itu yang diinginkan Lutfi. Sadar aku sudah memeluknya, aku cepat-cepat melepas dan melangkah pergi. Mukaku merah padam pasti. Aduh, malu.

Double LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang