Double L part 7

11 0 0
                                    

Sepagi ini hujan sudah turun. Tapi aku tetap semangat bangun dan bergegas bersiap-siap. Pak Min sudah menunggu di teras. Aku berlari kecil masuk ke dalam mobil sambil mendekap kotak makanan dengan kedua tanganku. Aku tersenyum menatap kotak di tanganku. Bahkan aku sudah tidak sabar untuk sampai di sekolah.

"Payungnya, Non!" Seru Pak Min ketika aku keluar dari mobil begitu saja. Aku melambaikan tangan sambil meringis sebelum melanjutkan lari ke teras koridor.

Aku bersenandung riang melewati koridor yang berlawanan arah dari kelasku berada. Rahma bahkan berteriak dan menarik tasku gemas.

"Lo mau kemana? Lo amnesia? Kelas kita kan--" Dasar Rahma, dia memang kelewat heboh.

Aku tetap santai berjalan, "Gue ada urusan bentar. Lo ngapain ngikut?"

Rahma berusaha menyamai langkahku, "Yee, nggak boleh? Emang mau kemana?"

"Jangan banyak tanya deh," jawabku.

Kelas yang kutuju sudah terlihat dan senyum di pipiku semakin mengembang. Aku berhenti sebentar untuk merapikan anak rambut yang terlepas dari kuncir. Rahma hanya mengomel karena hampir menabrak punggungku.

Aku menarik napas. Aduh, kenapa rasanya campur aduk? Ini cuma mau ketemu Lutfi. Kenapa seolah jadi spesial? Aku mempercepat langkah ketika daun pintu kelasnya terlihat. Detak jantungku semakin cepat. Dan seseorang muncul dari balik pintu.

"LO NGGAK PUNYA MATA?" Ia berteriak seraya menudingku. Aku menatap sedih kotak makanan yang lepas dari tanganku dan isinya berhamburan di lantai.

"Lo yang nggak pake mata lo!" Rahma balas berteriak.

"Eh gue nggak urusan sama lo ya!" Siska membentak. Beberapa murid mulai mengerumun. Bagi mereka, bisa jadi ini menjadi hiburan sebelum berkutat dengan latihan soal ujian.

"Udah, Ma!" Aku menahan tangan Rahma yang hendak membalas perkataan Siska.

"Lo sengaja kan?" Aku menatapnya tajam. Siska menyeringai.

"Jawab!" Tandasku. Wajahnya berubah sedih.

"Atau setidaknya lo bilang maaf!" Kataku mulai tersulut emosi melihat ia yang diam saja.

"Orangtua lo nggak pernah ngajarin buat minta maaf?" Suaraku meninggi. Siska menangis.

"Kenapa nangis? Lo--"

"Cukup, Intan!" Sebuah bentakan dari belakangku seketika membungkam mulutku. Tanpa aku menoleh, aku tahu suara itu milik siapa.

Aku berbalik dan mendapati mata teduh itu berubah tajam.

"Lo keterlaluan, Intan." Lutfi menyibak bahuku untuk menghampiri Siska yang entah sejak kapan sudah menangis histeris. Aku melihat bagaimana dengan sabar Lutfi memegang kedua bahu Siska lalu memeluknya erat.

Aku berlari menerabas hujan. Berlari melewati lapangan rumput yang cukup luas untuk sampai di kelasku. Rahma berlari kelimpungan menyusulku.

"Lo kenapa?" Rahma menarikku sebelum aku masuk ke kelas. Ia mendudukkanku di bangku depan kelas.

"Cerita ke gue, Intan. Jangan diam aja."

"Gue harus cerita apa?" Tanyaku pelan.

"Gue bisa lihat semuanya, Intan." Ia menggenggam kedua tanganku.

"Lo sok tahu." Aku terkekeh.

"Lo jangan bohong sama diri sendiri," katanya. Tawa di bibirku seketika lenyap.

"Gue cuma nggak mau jadi beban buat dia. Gue nggak mau perasaan gue ini.." aku tercekat.

"Dengar.. nggak ada perasaan yang akan membebani. Cinta itu nggak salah, Tan. Lo bebas suka sama siapa aja."

Double LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang