Petikan gitar terdengar sayup sampai ke kamarku. Aku membuka jendela lebar. Membiarkan angin juga berhembus masuk. Pun ketika suara Lutfi terdengar samar. Entah lagu apa yang ia nyanyikan. Terdengar menyentuh. Apakah ia kesepian?
Aku tertarik untuk melangkah ke balkon. Dan benar saja ketika aku menoleh, Lutfi sedang duduk di kursi sambil memetik gitar. Matanya mengawang ke depan. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Lama aku mengamatinya. Sosok kecil itu kini tumbuh dewasa dengan wajah tegasnya. Aku tiba-tiba merindukan masa kecil kami. Sewaktu kecil, Lutfi selalu melindungiku. Selalu menjagaku. Dan kini, apakah semua itu masih ada di Lutfi? Mengingat semua kelakuannya di sekolah. Aku tidak yakin jika Lutfi mau repot-repot menjagaku. Lutfi yang sekarang tentu berbeda jauh dengan Lutfi yang dulu.
Dengan gerakan yang pelan, ia akhirnya menoleh, mungkin merasa ada yang memperhatikan. Sejenak aku membiarkan diriku tenggelam ke tatapannya yang sendu. Mencoba mengerti apa yang sedang ia rasakan. Sedih, kecewa dan terluka?
"Ehem." Ia berdehem. Aku mengerjapkan mataku. Entah bagaimana kenapa aku mendadak canggung.
"Malam, Lintang." Ia meniru cara bicara Dika saat menyapaku di sekolah. Aku menatapnya galak. Tapi tunggu.. ia memanggilku Lintang?
"Kenapa diam? Terpesona ya? Masih kerenan gue dong kalau dibanding Dika-mu itu." Ia terkekeh pelan, sengaja mengejek. Mereka berdua itu selevel. Hanya bedanya Dika tidak berandalan seperti Lutfi.
"Diam!" Seruku sebal. Ternyata ia selalu menyebalkan, di mana pun.
"Di rumah sendirian?" Ia bertanya hal lain.
"Udah biasa," jawabku malas. Aku menopang kedua tanganku di pembatas balkon.
"Mbak Salma nggak ikut ke sini?" Tanyaku, ketika melihat Lutfi yang terdiam.
"Tahu kemana," jawabnya enteng.
"Ikut suaminya, ya?" Aku ingat jika umur Mbak Salma delapan tahun di atas kami. Pasti sudah berkeluarga dan punya anak kecil.
"Mungkin."
"Kok mungkin sih?" Kejarku. Lutfi tampak mengacak rambutnya yang semakin berantakan. Aku menyesal telah bertanya hal-hal pribadinya.
"Maaf,"
"Hmm." Gumamnya lantas berdiri dan masuk ke dalam rumahnya. Aku merasa tidak enak dengan pertanyaanku tadi. Tapi aku yakin jika Lutfi memendam sesuatu.
"Satu hal yang lo harus tahu," aku sedikit kaget ketika Lutfi kembali muncul di balkon rumahnya.
"Gue bukan Lutfi yang dulu." Tandasnya.
"Aku ngerti," jawabku, meski aku berusaha menahan sesuatu yang ingin menetes dari mataku. Rasanya sakit. Sesakit ketika Lutfi sekeluarga memutuskan untuk pindah sepuluh tahun yang lalu.
Aku mendongak ke langit. Mencegah air mataku yang ingin tumpah. Langit malam ini terlihat cerah dengan taburan bintang dan bulan sabit yang menggantung di sana. Aku mengerjap takjub ketika ada satu cahaya yang melesat ke sebuah arah.
Aku nyaris lompat kegirangan dan kelepasan berteriak, "Lutfi, ada bintang jatuh!!"
Tapi sebelum aku berteriak, kalimat itu sudah kutelan sendiri. Jika ia masih Lutfi yang sama, maka ia tentu juga akan menatap langit penuh binar dan membatin sebuah permintaan. Tapi Lutfi yang sekarang tidak lagi menyukai bintang jatuh. Ia bukan Lutfi yang dulu. Aku mencoba menerima kenyataan itu.
***
Pak Min masih di kampungnya, jadi pagi ini aku terpaksa menunggu bus di halte. Jadi aku sudah mengantispasi untuk berangkat lebih pagi. Mengingat bus yang lewat selalu penuh. Jadi aku harus menunggu bus selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double L
RomanceJust open, read, and create your own imagination. How this story spread, it depends on your way.