Malam-malam berlalu dalam keterdiaman. Ini yang kelima kalinya aku menoleh ke balkon samping rumahku. Lampunya memang menyala. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Lutfi. Mungkin ia sedang belajar dengan giat. Aku tersenyum dengan pemikiranku sendiri. Setiap kali aku bertanya kemana ia akan melanjutkan kuliah, pasti ia tidak menjawab. Ia sungguh sulit ditebak. Aku hanya bisa memaklumi.
Aku juga maklum jika beberapa hari ini Lutfi menghindariku sejak sarapan bersama waktu itu. Di sini mungkin aku yang salah, jadi wajar jika Lutfi marah kepadaku. Dan aku sadar posisiku. Sesak jika mengingatnya.
Aku membiarkan angin malam menusuk kulitku. Hujan turun sejam yang lalu, sekarang masih menyisakan rintik kecil. Eh? Lutfi makan belum ya? Aku menolehkan kepala ke balkonnya dengan khawatir.
Tapi kekhawatiranku terjawab ketika bunyi klakson mobil terdengar dari bawah sana. Sebuah payung terkembang. Pintu mobil terbuka dan Siska muncul dari sana. Lutfi datang menyambut dengan sebuah payung di tangan. Siska menenteng sebuah kotak yang aku yakini berisi makanan. Tanpa sadar aku meremas pembatas balkon.
"Non Intan, ada telepon dari Nyonya." Mbok Rum mengetuk pintu kamarku, memutus tatapanku ke bawah sana. Aku membuka pintu dan menerima gagang telepon dari Mbok Rum.
"Iya, Bunda?" Aku melorot di pintu yang tertutup, aku menyandarkan punggungku di sana.
"Kamu apa kabar, Sayang? Kalau Bunda nggak telepon kamu nggak bakal telepon Bunda." Protesnya.
"Maaf, Bunda." Aku merasa bersalah.
"Gimana ujiannya, Sayang?" Tanyanya lembut.
"Lancar, Bun. Besok hari terakhir."
"Maaf ya, Sayang. Ayah dan Bunda nggak bisa mendampingi kamu." Suaranya terdengar sedih.
"Aduh, Bunda.. Intan kan juga udah besar. Bunda nggak perlu khawatir." Aku mencoba menenangkan Bunda.
"Bunda, udah dong.. Ayah pengen ngobrol juga sama anak Ayah.." Dari seberang sana terdengar rajukan Ayah. Aku tertawa pelan.
"Ayah mau ngomong nih, Tan." Bunda pura-pura sebal karena diinterupsi.
"Halo, Ayahku ganteng." Sapaku geli.
"Kamu nyindir Ayah?"
"Hahaha. Ayah dan Bunda kapan pulang?"
"Secepatnya, Sayang. Ngomong-ngomong kamu mau lanjut sekolah dimana?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga.
"Nggak tahu, Yah. Terserah Ayah dan Bunda aja." Jawabku pasrah. Aku memang belum mengambil keputusan apa-apa.
"Oke kalau begitu!" Teriak Ayah tiba-tiba. Terdengar suara plak dari seberang. Bunda pasti menggeplak lengan Ayah.
"Begitu gimana, Yah?"
"Kamu kuliah di sini. Iya, gitu. Kamu mau kan? Biar Ayah urus surat-suratnya dari sekarang." Ayah terdengar begitu semangat.
"Eh? Tapi kan ijazah Intan belum keluar, Yah. Ujiannya juga belum selesai."
"Gampang, Sayang. Persyaratan itu bisa menyusul nanti-nanti." Ayah melanjutkan, "Oh iya kamu mau ambil jurusan apa, Sayang?"
Aku menghembuskan napas. Pilihan yang sulit.
"Ayah yang pilihkan aja." Kataku pasrah.
"Kamu ini.. ya sudah, kamu pikirkan dulu matang-matang. Malam, Sayang." Telepon ditutup. Hening dan aku merasa kembali sesak napas.
Sejenak memang aku bisa lupa dengan kedatangan Siska tadi. Tapi sekarang aku ingin datang dan melabraknya. Lihat betapa beruntungnya menjadi Siska. Lutfi masih mencintainya walaupun Siska pernah menyakitinya. Kenapa bukan aku? Aku selalu ada di sampingnya. Kenapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Double L
RomanceJust open, read, and create your own imagination. How this story spread, it depends on your way.