End Game

49 6 4
                                    


Hari itu, upacara pernikahan digelar dengan kemegahan yang sesuai dengan nama besar klan Hyuga. Di bawah langit sore yang cerah, halaman utama kediaman Hyuga telah dipenuhi tamu-tamu dari berbagai klan terhormat. Ornamen tradisional menghiasi aula besar, menampilkan estetika khas yang menonjolkan keanggunan dan kekuatan garis keturunan Hyuga.

Shikamaru berdiri di altar, mengenakan jubah resmi pernikahan dengan desain sederhana namun elegan. Wajahnya tenang, tapi matanya menunjukkan keteguhan hati yang tak tergoyahkan. Di hadapannya, Hinata melangkah dengan anggun, mengenakan kimono putih bersulam perak yang membuatnya tampak seperti dewi yang turun dari langit. Wajahnya tertunduk sedikit, pipinya bersemu lembut, tapi matanya berbinar dengan emosi yang tak bisa disembunyikan.

Ketika mereka berdiri berhadapan, mata mereka bertemu, seakan berbicara dalam bahasa yang hanya mereka mengerti. Pendeta mulai membacakan doa dan sumpah pernikahan, diikuti dengan pengucapan janji pernikahan. Suara Hinata lembut namun penuh keteguhan saat ia mengucapkan janji setianya kepada Shikamaru. Begitu pula dengan Shikamaru, yang suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, sarat dengan kesungguhan dan perasaan yang tak terbendung.

Saat cincin disematkan di jari masing-masing, detik itu seakan berhenti. Dan ketika pendeta mengumumkan bahwa mereka kini sah sebagai suami istri, Shikamaru tak membuang waktu. Ia menarik Hinata ke dalam dekapan eratnya, lalu menciumnya di hadapan semua orang. Ciuman itu dalam, penuh dengan rasa memiliki, seakan memberi tahu dunia bahwa Hinata adalah miliknya, dan hanya miliknya. Para tamu bersorak, sementara beberapa anggota Hyuga hanya bisa menghela nafas melihat keberanian menantu baru mereka.

Namun, momen paling intim mereka baru saja dimulai setelah upacara pernikahan selesai.

Malam telah larut ketika mereka akhirnya berada di kamar pengantin mereka. Cahaya lentera redup memberikan nuansa hangat di ruangan itu. Hinata duduk di tepi ranjang, jari-jarinya menggenggam ringan kain kimono pengantinnya. Jantungnya berdebar tak beraturan, dan saat ia mendengar langkah kaki Shikamaru mendekat, ia mengangkat wajahnya.

Shikamaru berdiri di hadapannya, menatapnya tanpa berkata-kata. Ada sesuatu dalam sorot matanya, sebuah intensitas yang belum pernah Hinata lihat sebelumnya. Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyentuh pipi Hinata dengan lembut sebelum ibu jarinya mengusap bibirnya.

"Hinata," gumamnya, suara serak dan penuh emosi. "Aku mencintaimu."

Hinata tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatapnya, sebelum akhirnya, dengan hati yang sepenuhnya pasrah pada pria di hadapannya, ia mengangkat wajahnya dan mengecup bibir Shikamaru dengan lembut.

Shikamaru merespons dengan menariknya lebih dekat, satu tangannya melingkari pinggangnya, menekan tubuh mereka hingga tak ada jarak tersisa. Ciumannya semakin dalam, lebih menuntut, lebih penuh gairah. Hinata bisa merasakan betapa Shikamaru menginginkannya, betapa pria itu telah menahan dirinya begitu lama. Napas mereka memburu saat ciuman itu semakin liar, semakin menggila.

Jari-jari Shikamaru perlahan menarik lepas obi kimono Hinata, membiarkan kain itu meluncur turun, menyingkapkan kulit pucat yang berpendar di bawah cahaya lentera ruangan itu. Hinata menggigit bibirnya, wajahnya memerah, tapi ia tak berusaha menutup dirinya. Ia mempercayai Shikamaru sepenuhnya.

Shikamaru menelusuri setiap inci kulitnya dengan sentuhan yang sarat akan hasrat dan kelembutan. Ia menundukkan kepala, menelusuri leher Hinata dengan bibirnya, menciptakan jejak-jejak sensasi yang membuat gadis itu gemetar. Tangan Hinata mencengkeram bahunya, mencari pegangan di tengah pusaran emosi dan keinginan yang membakar mereka berdua.

Saat tubuh mereka akhirnya menyatu dalam ritme yang intim dan mendalam, hanya ada mereka berdua di dunia ini. Malam itu bukan sekadar pemenuhan hasrat, tapi juga penyatuan dua hati yang telah saling memilih. Dan ketika fajar menyingsing, Shikamaru menarik Hinata ke dalam pelukannya, membisikkan sesuatu di telinganya yang membuat Hinata tersenyum dalam kantuknya.

"Kau milikku, selamanya."

Tiga Tahun Kemudian

Matahari pagi masuk melalui jendela kamar, menerangi sosok yang tengah tertidur pulas di atas ranjang berukuran besar. Di sebelahnya, seorang bayi berusia sembilan bulan menggeliat pelan, membuat suara kecil sebelum akhirnya membuka matanya yang besar dan jernih. Dengan pipi tembam dan rambut hitam pekat yang mulai tumbuh, bayi itu menggumam pelan, mencari kehangatan yang familiar untuknya.

Hinata terbangun lebih dulu, senyum lembut terukir di wajahnya saat ia melihat putranya menggeliat. Ia mengangkat bayi itu ke dalam pelukannya, membisikkan kata-kata lembut yang membuat si kecil tertawa pelan. Tangannya mengusap rambut bayi mereka dengan penuh kasih sayang.

Shikamaru membuka matanya perlahan, mendengar suara tawa kecil yang selalu berhasil menghangatkan hatinya. Ia menoleh dan menemukan istrinya sedang menggendong putra mereka, wajahnya penuh kelembutan.

"Pagi..." gumamnya dengan suara serak karena baru bangun tidur.

Hinata menoleh dan tersenyum. "Pagi, Shikamaru. Tidurmu nyenyak?"

Shikamaru mengangkat satu alis, lalu mengulurkan tangan untuk menarik Hinata dan bayi mereka ke dalam dekapannya. "Lebih nyenyak kalau kita tidak diganggu bocah ini," candanya, meski jelas-jelas tak ada sedikit pun keluhan di suaranya.

Bayi mereka tertawa, tangannya kecilnya menyentuh wajah Shikamaru seolah mengajak bermain. Shikamaru menatap anaknya, lalu mendekatkan wajahnya hingga kening mereka bertemu.

"Hari ini ada rencana apa?" tanya Shikamaru pada Hinata sambil tetap menatap anak mereka.

Hinata menggeleng pelan. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan kalian berdua. Kau kan jarang di rumah akhir-akhir ini."

Shikamaru menghela napas, merasa sedikit bersalah. Sebagai penasihat Hokage, tugasnya masih cukup padat. Tapi setiap kali ia pulang dan melihat Hinata serta putranya, semua lelah seakan menghilang.

"Baiklah," katanya akhirnya, sambil mencium puncak kepala Hinata dan bayi mereka. "Hari ini aku milik kalian."

Di tempat lain, jauh dari Konoha, seorang pria berambut hitam berdiri di tepi jurang, menatap langit yang mulai berubah warna. Sasuke Uchiha menarik napas dalam, membiarkan angin membawa pikirannya melayang jauh.

Bahkan setelah tiga tahun, bahkan setelah Hinata telah menjadi istri Shikamaru dan memiliki keluarga kecilnya sendiri, perasaan itu tetap ada. Tidak memudar, tidak berubah. Tipikal Uchiha, sekali jatuh cinta, tidak ada jalan keluar.

Tapi ia tahu lebih baik pergi jauh daripada kembali dan menghancurkan kebahagiaan yang telah Hinata temukan.

Ia memilih pergi.

Seperti yang selalu ia lakukan.


-------------------------------------------------------------END-------------------------------------------------------------




















Akhirnyaa tamatin juga ini, setelah bertahun tahun dan berkali kali revisi -__-
maaf juga yang ekspektasi Sasuhina, jujurly aku jarang banget nemu fanfic Shikahina makanya akhirnya endgame nya kuarahin ke mereka aja.

maybe next fic yaa kita buat Sasuhina nya

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang