Abimana menghela napas panjang, matanya tak lepas dari pintu depan yang masih tertutup rapat. Sudah lebih dari setengah jam sejak Ayunda dan Ezra berangkat untuk pemeriksaan kandungan. Ia melirik jam di dinding, lalu kembali menatap layar laptopnya yang tak lagi menarik perhatiannya.
Ia tahu seharusnya tidak berpikir seperti ini, tapi tetap saja, pikirannya berandai-andai. Bagaimana kalau tadi aku yang menemani Ayunda? Bagaimana rasanya duduk di sana, melihat layar USG, mendengar detak jantung kecil yang tumbuh dalam rahim wanita yang dicintainya?
Dan... kalau saja anak itu benar-benar anaknya.
Abimana tersenyum miris. "Kayaknya memang takdir gak mau berpihak ke gue," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian kamar. Ia menutup laptopnya dengan pelan, meletakkannya di meja terdekat.
Fate is too cruel for Abimana. Now, who is to blame? He who is not grateful or fate itself?
Ia mengusap wajahnya, mencoba mengusir kepenatan yang tak hanya berasal dari tubuhnya, tapi juga dari pikirannya. "Berbagi istri rasanya gak mudah sama sekali," ujarnya lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Pintu depan berderit pelan, Ayunda masuk lebih dulu, wajahnya terlihat lelah tapi bahagia. "Mas, aku pulang," sapanya dengan lembut.
Abimana mengangkat wajahnya, berusaha menyembunyikan apa yang tadi berkecamuk di pikirannya. "Gimana hasilnya?" tanyanya, suaranya terdengar lebih tenang dari hatinya.
Ayunda tersenyum. "Syukurlah, semuanya baik. Kata dokter, usia kandungannya sudah dua minggu."
Abimana mengangguk pelan. "Syukur kalau gitu," ujarnya, lalu menatap Ezra yang kini menyusul masuk ke arah mereka dengan raut wajah yang masih penuh semangat.
"Lo harus lihat ekspresi istri kita bang, pas lihat layar USG tadi. Mukanya tuh antara kaget, seneng, sama terharu," ujar Ezra sambil duduk di sofa. "Gue aja jadi ikut terharu."
Abimana hanya tersenyum tipis. "Pasti seneng banget, ya?" tanyanya, lebih ditujukan ke Ayunda.
Ayunda mengangguk, lalu menghampiri Abimana, menggenggam tangannya. "Mas juga pasti seneng, kan?" tanyanya lembut.
Abimana menatap mata istrinya, mencoba menemukan jawaban yang tepat. Senang? Tentu saja. Tapi di balik itu, ada juga rasa yang sulit ia jelaskan.
Akhirnya, ia tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, sayang. Aku ikut seneng."
Karena apalagi yang bisa ia lakukan selain menerima takdirnya?
Ezra duduk lebih tegak, menatap Ayunda dan Abimana bergantian. "Gimana kalau kita buat syukuran kecil? Bukannya kalian berdua udah nunggu kehamilan ini selama lima tahun?" usulnya dengan antusias.
Ayunda dan Abimana saling bertukar pandang. Syukuran? Mau mengundang siapa? Nanti kalau ditanya macam-macam bagaimana?
Ayunda menggigit bibirnya ragu, tangannya meremas ujung bajunya. "Bukannya gak mau, Zra. Cuman… nanti alesannya gimana? Ada kamu di sini," ujarnya pelan.
Ezra mengangkat bahu. "Ya, bilang aja aku sodara jauh. Kita undang orang-orang sekitar cluster aja, yang dekat-dekat sini. Gak usah besar-besaran, yang penting niatnya berbagi kebahagiaan."
Abimana menatap Ayunda, mencari isyarat dalam ekspresi istrinya. "Mas, gimana?" Ayunda akhirnya melempar persetujuan pada suami pertamanya.
Abimana tersenyum tipis. "Aku setuju aja. Memang harus dirayakan, kan? Meskipun kecil-kecilan," katanya, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang terlihat berbinar.

KAMU SEDANG MEMBACA
BERBAGI ISTRI (2 Suami Poliandri)
RomanceProlog. Ayunda dan Abi terlibat cinta yang rumit. Mereka menghadapi badai pernikahan yang tiada henti, ketika Abi di diagnosa oleh Dokter mengalami kelumpuhan sepulang dari Amerika. Cinta yang mereka berdua rasakan hanya hitungan hari, tidak lebih d...