Kebenaran dan Peluru

20 1 1
                                    

Shinichi mencengkeram bahu Shiho erat, memastikan tubuhnya sepenuhnya terlindung di balik meja kayu tebal. Detak jantungnya berdentum cepat, bukan hanya karena serangan mendadak itu, tetapi juga karena emosi yang baru saja meledak di antara mereka.

Shiho menatapnya tajam, napasnya masih terengah akibat amarah yang belum reda. Namun, kini ada sesuatu yang lebih besar daripada kemarahannya—bahaya nyata yang mengintai mereka.

Suara sepatu berderap mendekat dari koridor luar.

Shinichi berbisik, waspada “Kita harus keluar dari sini. Mereka datang dengan persiapan.”

Shiho meraba sakunya, menarik keluar pistol kecil yang selalu dia bawa untuk berjaga-jaga.

Shiho berkata dingin, tajam. “Berapa orang?”

Shinichi mengintip sekilas dari balik meja, hanya untuk kembali berlindung ketika peluru lain melesat melewati telinganya, menghantam rak buku di belakang mereka.

Shinichi membalas dengan datar, penuh perhitungan “Setidaknya lima. Mungkin lebih. Dan mereka bukan amatiran.”

Shiho mendecakkan lidah. Situasi ini bukan hal baru bagi mereka, tetapi tetap saja, kali ini terasa berbeda—lebih personal. Shiho tahu mereka bukan hanya mengejar Shinichi… mereka juga mengincarnya.

Shiho berbisik, menyipitkan mata “Kamu pikir mereka sudah tahu kamu dan aku menyelidiki mereka?”

Shinichi menatapnya sejenak, ada sesuatu di matanya—sebuah percampuran rasa khawatir, marah, dan… cinta.

Shinichi lirih, dalam.“Aku berharap mereka tidak tahu. Tapi melihat cara mereka menyerang kita sekarang, aku ragu.”

Shiho menarik napas dalam, mencoba meredam ketegangan yang menguasainya. Lalu, dalam hitungan detik, dia bangkit dan menembak dua kali ke arah pintu. Suara pekikan terdengar dari luar.

Shiho sinis, datar. “Itu untuk mengulur waktu.”

Shinichi membelalak, lalu mendesis.

Shinichi terkejut, setengah kesal.  “Kamu gila?! Mereka bisa membalas lebih brutal!”

Shiho tersenyum kecil, meskipun situasi mereka jauh dari menyenangkan.

Shiho menanggapi dengan santai dan tajam “Sejak kapan kamu lupa kalau tunangan mu ini bisa menjaga diri sendiri, Kudou-kun?”

Shinichi memejamkan mata sejenak, menghela napas, lalu tersenyum tipis meski kepalanya pusing oleh situasi ini.

Shinichi lembut melirih “Aku tidak pernah lupa… Aku hanya selalu ingin menjadi orang yang melindungimu lebih dari siapa pun.”

Shiho membeku sejenak. Kata-kata itu menghantam dinding yang telah dia bangun di sekeliling hatinya.

Namun sebelum dia sempat merespons, suara ledakan kecil terdengar dari luar ruangan, diikuti oleh asap putih yang mulai menyelinap masuk.

Shiho tegang, tajam “Gas?”

Shinichi segera menarik Shiho ke arah jendela yang pecah tadi.

Shinichi dengan serius dan  tegas berkata “Kita harus keluar sebelum gas ini membuat kita pingsan!”

Shiho mengangguk, dan tanpa berpikir panjang, dia melompat keluar jendela bersama Shinichi. Mereka mendarat di gang sempit di belakang gedung, tubuh mereka berguling sebelum akhirnya berdiri kembali dengan sigap.

Dari dalam gedung, mereka masih bisa mendengar suara langkah kaki dan komunikasi para penyerang melalui alat komunikasi.

Shiho mengerutkan kening “Mereka bukan sekadar pembunuh bayaran biasa.”

Shinichi dengan cepat menarik Shiho untuk berlari menuju mobil yang diparkir beberapa meter dari sana. Tembakan kembali terdengar, peluru menghantam dinding di sekitar mereka.

Shiho menggertakkan gigi, menekan pistolnya “Sial, mereka tidak main-main.”

Shinichi mengeluarkan kunci mobil dan membuka pintu. Begitu keduanya masuk, dia segera menginjak pedal gas, meninggalkan tempat itu dengan kecepatan tinggi.

Di dalam mobil, hanya suara napas mereka yang terdengar selama beberapa saat.

Shiho akhirnya memecah keheningan, suaranya lebih tenang, meski masih penuh ketegangan.

Shiho berkata datar. “Kudou… Aku tetap tidak bisa memaafkanmu karena menyembunyikan ini dariku.”

Shinichi menatapnya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan.

Shinichi pelan membuka suara dengan berkata jujur “Aku tahu.”

Shiho menggenggam erat lututnya sendiri, matanya menerawang ke luar jendela.

Shiho melirih “Aku hanya ingin tahu… siapa yang bertanggung jawab atas kematian keluargaku. Aku ingin jawaban, bukan perlindungan.”

Shinichi menghela napas, jemarinya mengetuk-ngetuk setir.

Shinichi berhati-hati dalam memberi alasan yang terbaik untuk membalas kata-kata shiho. “Aku juga menginginkan hal yang sama, Shiho. Tapi aku takut jawaban itu akan menghancurkanmu lebih dari yang bisa kamu bayangkan.”

Shiho menoleh, menatapnya dalam.

Shiho pelan, menekan emosinya membalas “Kamu masih meremehkanku?”

Shinichi mengeratkan genggamannya pada setir, lalu menggeleng.

Shinichi melirih dengan tulus  “Tidak… Aku hanya takut kehilanganmu.”

Shiho terdiam.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia tidak tahu bagaimana harus merespons.

Namun sebelum dia bisa mengatakan sesuatu, suara dering ponsel Shinichi memenuhi udara.

Shinichi meraih ponselnya, menatap layar sejenak sebelum menjawab dengan nada serius.

Shinichi dengan datarnya membalas dengan  waspada “Heiji.”

Dari seberang, suara Heiji terdengar terburu-buru.

Heiji berkata dengan cepat dan tegang. “Oi, Kudou! Mereka bukan hanya mengincarmu! Ada kemungkinan besar dalang di balik semua ini masih hidup, dan mereka ingin Shiho!”

Shiho dan Shinichi saling bertukar pandang.

Darah Shiho terasa membeku seketika.

Shiho melirih, tajam “Mereka masih belum selesai denganku.”

Shinichi menggenggam setir lebih erat, matanya menyipit tajam.

Shinichi datar, dingin membuka suara  “Kalau begitu, kita juga belum selesai dengan mereka.”

Shiho menatapnya, melihat kobaran api yang sama di dalam matanya—api yang sama yang menyala dalam dirinya.

Ini bukan lagi tentang perlindungan. Ini adalah perang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Have you Fallen in Love with me yet ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang