Lisa menatap peti kakeknya yang perlahan di masukkan ke lubang berbentuk kotak. Peti itu secara perlahan, di timbun dengan tenang dan Lisa berusaha keras untuk tidak menghentikan segala yang terjadi.
Tidak ada isak tangis di pemakaman itu. Yang ada, hanya wajah datar. Seolah mereka tengah mendatangi sebuah bisnis yang membosankan.
Lisa mungkin bisa dibilang menjadi satu-satunya orang yang berduka.
Dari kejauhan, Lisa menatap kedua orang tuanya yang juga hadir. Ekspresi keduanya jauh lebih datar dari apa yang Lisa harapkan.
Setidaknya, dia berharap ibunya akan merasakan kesedihan. Tapi tidak. Rupanya ibunya juga sama saja. Wanita itu mungkin datang hanya karena pengacara menyuruhnya untuk datang.
Pemakaman selesai, mereka kembali ke rumah kakeknya. Tidak ada suasana duka di rumah itu. Hanya ketenangan yang terjadi sementara pengacara ada di antara keluarga itu.
"Apakah menurutmu pembacaan warisan tidak terlalu cepat di lakukan? Maksudku, kakekku baru saja di kuburkan dan tanahnya masih basah, tahu?"
"Lebih cepat akan lebih baik." Kata ayahnya, menjawab dengan datar. "Dan dalam beberapa jam, aku dan istriku akan kembali ke Seoul. Jadi, lebih baik katakan saja apa berapa banyak yang aku dapatkan."
Pengacara itu tidak terkejut dengan sikap ayahnya yang bersikap semaunya. Sementara Lisa mengepalkan tangan. Dia beruntung karena Jennie ada di sampingnya, terus memberikan sentuhan secara diam-diam karena jika tidak, dia sudah menghajar ayahnya seperti yang dia lakukan di kantor.
"Baiklah," Kata pengacara itu berkata. "Sebelumnya, perkenalkan namaku Hans. Aku seorang pengacara dan aku di perintahkan untuk membacakan sebuah warisan yang secara sah telah di tulis tepat di depanku dan beliau ingin, aku membacakannya di depan seluruh anggota keluarganya, yang termasuk seorang anak dan cucu. Benar?"
Lisa mengangguk sementara baik ibu dan ayahnya tidak merespon, meski hanya sekedar anggukan sama sekali.
"Oke, mari kita mulai saja."
Dan, sang pengacara mulai membacakan beberapa pembukaan wasiat seperti tulisan mengenai harapan tentang putri dan cucunya yang sehat.
Lisa mendengarkan dengan seksama. Mendengarkan harapan demi harapan kakeknya tentang dirinya.
"Aku berharap cucuku kembali menjadi wanita yang ceria, tertawa terbahak-bahak seperti biasanya, tersenyum saat dia bahagia. Aku berharap kau mendapatkan kebahagiaan. Lisa, kau ingat bagaimana aku mengajarkan banyak hal saat kau masih kecil? Seperti menunggang kuda dan juga bagaimana cara bisnis demi bisnis yang aku miliki itu bekerja. Aku tahu saat itu kau masih kecil dan aku tidak tahu apakah kau masih mengingatnya."
Lisa tersenyum simpul. Dia ingat bahwa seluruh keluarganya mengharapkan bahwa dia akan memegang perusahaan pada suatu hari.
Itulah kenapa, keputusan Lisa untuk lebih cinta pada tarian membuat anggota keluarganya merasakan kekecewaan.
Kakeknya juga sedih dengan keputusannya. Hanya saja, Lisa tahu kakeknya lebih menghargai keputusannya lebih daripada apapun.
"Tapi, aku entah bagaimana sudah tahu sejak kau masih kecil dan kau sering menari di depan cermin, kau menyukai sesuatu yang berbeda dari keluarga ini."
"Bisakah kita pada intinya saja? Kau benar-benar membuang waktu dengan surat murahan itu, tahu?" Gerutu ayahnya tampak tidak sabar.
"Tentu saja." Pengacara itu tersenyum sebelum kembali membacanya. "Saat aku mulai sakit, aku akhirnya mengambil keputusan yang paling besar yang pernah aku buat. Aku menjual seluruh perusahaan yang aku miliki dan—"

KAMU SEDANG MEMBACA
JENLISA - FEEL THE TOUCH (GIP)
FanfictionJennie Kim tahu, jika dia mengalami suatu kondisi yang berbeda. Dia tahu itu dan... dia pasrah dengan apa yang dia alami. Lalisa Manoban mengetahui masalah itu dan mencoba untuk memperbaikinya dalam cara apapun, persis seperti yang Jennie pinta.