"Abby! Abby!"
Abby yang sedang bermain boneka-bonekaan dengan pengasuhnya langsung menekuk wajahnya. "Siapa sih itu, Mbak? Ganggu aja."
Pengasuhnya yang bernama Mbak Dina itu langsung berjalan ke arah pagar. Ada seorang anak laki-laki yang berjinjit-jinjit sambil mengintip melalui celah-celah pagar besi yang menjulang tinggi itu.
"Ini ada Dimas, Abs!" kata Mbak Dina setelah membuka pagarnya dan menyuruh anak itu masuk ke dalam.
Abby tiba-tiba memberengut melihat anak yang dipanggil Dimas itu sudah berjongkok di depannya sambil menyengir usil. "Abs, main ke rumahku yuk!"
"Ngapain? Abby ogah kalau cuman diajak main mobil-mobilan sama Dimas doang." tolak Abby halus. Matanya mulai menelusuri wajah boneka Barbie-nya, lalu menyisir rambut boneka itu menggunakan sela-sela jarinya.
Dimas menarik-narik ujung baju Abby tak sabar. "Bukan, Papi baru bikinin aku ring basket di belakang rumah."
"Abs, Mbak Dina ke belakang dulu, ya. Mau nyiapin makan malam. Nanti kalau kamu jadi pergi main sama Dimas, jam lima Mbak jemput di rumahnya, oke?" kata Mbak Dina yang berdiri di ambang pintu sebelum ia masuk ke dalam rumah. Abby hanya mengangguk kecil tanpa memperhatikannya.
Dimas menyikut perut Abby. "Abby?"
Abby melirik tetangganya itu malas. "Abby nggak minat main basket. Nggak bisa juga."
Dimas mendengus pelan. "Ayolaaah!!! Nanti aku pinjemin game Powerpuff Girl yang kamu pinginin waktu itu deh," katanya dengan nada persuasif.
Perlahan, kerutan di kening Abby menghilang, sepertinya ia tertarik dengan topik pembicaraannya Dimas. "Serius?"
"He-eh."
Abby mengangkat bahunya acuh. Ia meletakkan bonekanya dan mengerucutkan bibirnya. "Yaudah, tapi bentar aja, ya."
***
"Dimas dari-" Tante Mayang, ibunya Dimas membesarkan matanya lalu ia tersenyum lebar sambil mencubit pipi Abby yang tembam. "Eh, ada Abby. Udah lama Tante nggak ngeliat kamu."
Abby hanya nyengir seadanya.
"Mi, jangan dicubit gitu, ih, pipinya Abby. Ntar tambah melar dan nggak imut lagi," protes Dimas yang sudah ngeloyor masuk seraya menggandeng tangan Abby, menuntun anak perempuan itu menelusuri rumahnya lalu berhenti di kamarnya.
Samar-samar, mereka dapat mendengar ibunya Dimas berteriak, "Tadi Rio ke supermarket sama Papi."
Rio itu siapa, batin Abby.
"Kamu mau cokelat?" tawar Dimas. "Atau apaan?"
"Tadi katanya mau main basket aja," Abby mendelik saat menyadari mereka sedang berada di kamar Dimas yang dipenuhi banyak mainan robot-robotan dan poster pebasket yang Abby tidak ketahui namanya yang tertempel di dindingnya. "Ada brownies, nggak?"
Dimas mencibir. "Bentar, aku tanya Mami dulu."
Abby mengangguk. Ia mulai mengobservasi setiap sudut dari kamar Dimas. Terakhir kali ia masuk ke kamar Dimas, masih banyak boneka binatang yang tersusun rapih di rak dekat meja belajar. Maklum, Dimas dulu tidur sekamar dengan kakak perempuannya, Sarah. Tapi sepertinya semenjak rumah mereka di renovasi bulang kemarin, kedua orangtua mereka memisahkan kamar mereka masing-masing.
Nggak baik juga kalau tidur sekamar antara cewek dan cowok yang udah gede, batin Abby lagi.
Ada sesuatu yang menarik perhatian Abby. Sebuah kotak biola yang berada di atas ranjang tempat tidur Dimas. Abby menelan ludah, ada sekelibat perasaan ragu di benaknya. Ia merangkak naik ke atas ranjang lalu dengan hati-hati menyentuh kotak biola itu.
Untuk Mario, 19-01-1996.
Nama yang ditujukan dan tanggal itu tertulis dengan spidol emas di bagian kanan bawah kotak biola itu. Jelas bukan milik Dimas, cowok itu mana pernah mau repot-repot menghabiskan waktunya untuk bermain biola. Dari nama yang tertera juga sudah pasti bukan punya salah satu penghuni rumah ini.
"Itu tanggal lahirku," gumam Abby saat ia melihat untuk kedua kalinya tanggal yang tercantum disana. Abby lalu tersenyum tipis.
"Kamu siapa?!"
Kepala Abby berputar cepat ke belakang dan matanya langsung bertemu dengan sepasang mata lainnya. Cokelat. Iya, cokelat. Abby melihatnya dengan amat sangat jelas. Mata cokelat itu balas menatapnya tak suka. Dengan langkah waspada, pemilik mata cokelat itu mengambil kotak biola yang ada di dekat Abby dan memeluknya.
"Nggak ada yang boleh megang kotak biola ini selain aku!" teriaknya marah.
Abby menggigit kuku jari telunjuknya cemas. Ia ingin bersuara, tapi tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya.
Belum pernah ada yang berteriak seperti itu padanya selama ini.
"Ada apa sih? Berisik amat?" tanya Dimas yang tiba-tiba masuk ke kamarnya dengan sebuah nampan berisi satu piring brownies dan dua gelas es jeruk. Ia melirik cowok yang masih memeluk kotak biola itu sekilas. "Kenapa sih, yo?"
Cowok itu tidak menyahut, pandangannya masih tertuju pada Abby, menyiratkan kalau ia sudah mengibarkan bendera peperangan diantara mereka. Abby bisa menangkap sorot mata yang berkata kalau cowok itu marah padanya.
"Nggak apa-apa." jawabnya pada akhirnya sambil menurunkan kotak biolanya dan menaruhnya dengan hati-hati di samping lemari baju. Setelah memastikan posisinya pas dan tidak mungkin tersenggol orang lain atau terjatuh, ia menghela napas pendek.
"Kebetulan Mami bikin brownies kemarin, kalau kamu mau lagi untuk bawa pulang, nanti aku minta Mami buat naro di Tupperware sebagian," ujar Dimas sambil menyodorkan segelas es jeruk pada Abby.
Abby menerimanya dengan sungkan. Ia memandang es jeruknya tanpa minat.
"Oh, ya, Abs. Ini Mario, sepupuku yang baru datang dari Jerman," kata Dimas sambil menunjuk cowok bermata cokelat itu. Kali ini, giliran Dimas memperkenalkan Abby ke cowok itu. "Yo, ini tetanggaku, Abby."
Jadi dia yang namanya Mario.
Abby melemparkan seulas senyum manis, berdoa supaya cowok itu tidak jutek lagi padanya. Tapi yang disenyumi malah menyipitkan matanya lalu berjalan keluar dari kamar dengan gaya sombong.
Abby meringis. "Sepupu Dimas serem, ih."
Dimas yang duduk di bawah lantai, di samping Abby, hanya tertawa geli. "Dia baik kok sebenernya. Tapi emang, ya gitu... nggak banyak omong."
"Masa tadi Abby coba pegang itu," Telunjuk Abby mengarah ke kotak biola yang tadi dan ia baru menurunkan tanganna lagi saat mata Dimas juga sudah mengarah ke objek yang sama. "Malah dibentak sama dia."
Dimas manggut-manggut. "Dia memang nggak suka orang lain sentuh-sentuh barang punya dia. Apalagi biola pemberian almarhumah ibunya. Walopun cuman kotaknya doang."
Kedua alis Abby terangkat. Oh?
"Mario orang Jerman?" tanya Abby pada anak lelaki di sebelahnya yang lebih tua setahun darinya itu.
"Hah?" Dimas tertawa ngakak. "Nggaklah! Dari lahir udah begitu, mirip bule. Aku pernah diliatin foto ibunya, cantik bener! Sumpah! Kayak... apatuh... kerjaan Tantenya Abby?"
Abby mengerinyit. Ia menaruh gelas es jeruknya kembali ke atas nampan.
"Pramugari?"
Dimas mengangguk semangat. "Iya! Kayak pramusaji!"
"Pramugari, Dimas," ralat Abby sambil memutar kedua bola matanya.
Dimas terkekeh pelan. "Ya, pokoknya itulah." katanya pasrah. Ia bangkit berdiri lalu menarik tubuh Abby untuk membantunya berdiri juga. "Yuk, temenin aku main basket. Seperti rencana awal."
"Itu, es jeruk sama brownies-nya sekalian dibawa." kata Abby dengan nada memerintah. "Jangan lupa, abis selesai main basket, kasih aku game-nya."
Dimas lagi-lagi mencibir. "Iya, Yang Mulia."
Abby tertawa kecil. Dasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cherry Blossom
Teen Fiction[TELAH DITERBITKAN] "Bagaimana jika mengubah takdir adalah takdirmu?" Pada awalnya, Abrianna "Abby" Fuyuko merasa hidupnya sudah lengkap: ia memiliki prestasi yang membanggakan, ayah yang selalu mendukungnya, sahabat-sahabat yang menyenangkan, dan j...