06: Pementasan Drama, Ulang Tahun, dan Dimas

135K 6.7K 200
                                    

"Cokelat, atau stroberi?" tanya Papa Abby sambil memegang kedua selai dengan rasa berbeda di masing-masing tangannya.

"Stroberi!" sahut Abby dengan senyum lebar di wajahnya.

Andreas Hutama balas tersenyum sambil mengoleskan selai stroberi ke roti tawar lalu menaruhnya di piring makan Abby.

"Bon appétit, Abby."

"Bon appétit, Papa."

Abby menggigit pinggiran rotinya, mulutnya sibuk mengunyah hingga menggembung lucu. Setelah menghabiskan sarapan paginya, ia meminum susunya dari mug bertuliskan World's Bestest Daddy milik ayahnya, secara perlahan.

Ayahnya menyodorkan sebuah kotak berwarna merah muda pada Abby. "Otanjoubi omedetou (*), Abrianna."

Abby menaruh mug-nya lalu meraih kotak itu dengan penuh suka cita. "Hadiah?"

Ayahnya mengangguk tenang. "Coba Abby buka."

Abby tertawa pendek. "Nanti aja deh bukanya biar surprise!" katanya sambil meletakkan kotak itu di dekat toples selai.

"Umm... Papa nanti beneran nonton Abby, kan?" tanya Abby untuk ketiga kalinya pagi itu, dan ditanggapi dengan sebuah senyuman dari ayahnya.

*

Abby menggigit bibirnya sambil meremas tangan orang di sampingnya. Gadis itu sesekali menatap ke arah penonton yang kebanyakan adalah orangtua dari murid-murid yang mementaskan drama yang dimainkan oleh Abby. Dimas mengelus-elus punggung Abby untuk menenangkan gadis itu.

"Tinggal dua adegan lagi, By. Kamu pasti bisa." ujar Dimas seraya tersenyum menyemangati temannya itu.

Abby merengutkan bibirnya. "Rio beneran nggak dateng ya?"

Dimas mengerutkan dahinya. Kok jadi Rio lagi sih?

Abby baru akan bertanya lagi tentang Mario tapi tiba-tiba wali kelasnya menghampirinya dan memberitahu Abby kalau sebentar lagi waktunya Abby kembali ke panggung. Ya, adegan terakhir sebelum penutupan acara.

"Aku bakal nunggu kamu disini." kata Dimas saat Abby berbalik menatapnya. Gadis kecil yang hari itu genap berusia delapan tahun mengangguk dan berjalan menaikki tangga ke atas panggung.

Abby menyipitkan matanya kala lampu sorot itu mengarah kepadanya. Panas, silau dan memberi efek gugup. Ratusan pasang mata itu menatap lurus ke atas panggung, menatap enam sosok mungil yang sibuk berlagak di depan gambar istana yang megah dan besar. Enam sosok itu merupakan Abby yang memerankan tokoh Cinderella, dua orang anak kelas tiga sebagai kakak-kakak tirinya, anak kelas empat sebagai ibu tirinya, teman sekelasnya yang menjadi pengawal istana serta Azka—teman sekelas Dimas—sebagai pangeran.

Abby menelan ludahnya. Matanya mencari-cari wajah ayahnya di tengah-tengah para penonton. Ia tersenyum senang saat berhasil menemukan ayahnya yang duduk di bagian pinggir baris ketiga. Ayahnya bilang, dia akan sedikit telat menghadiri pementasan drama sekolah Abby karena ada masalah yang harus diselesaikan di kantornya dan Abby dapat mengerti itu.

Setidaknya papanya datang dan tidak mengingkar janji, tidak seperti mamanya.

"Biarkan aku yang mencoba sepatunya!" seru Abby sambil mengangkat gaun merah mudanya sedikit.

Ibu tiri Cinderella melipatkan kedua tangannya di dada dengan pandangan tak suka. Diam-diam saat si pengawal istana berjalan ke arah Cinderella, ia sengaja menjegal kakinya hingga sepatu kaca yang dibawa secara hati-hati oleh pengawal istana itu jatuh dan hancur berkeping-keping.

Kedua kakak tiri Cinderella tersenyum licik sambil memandang Cinderella jijik.

"Oh, Pangeran! Bagaimana ini?" tanya si pengawal istana dengan wajah cemas dan takut.

Cherry BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang