02: Malam Minggu

184K 8.2K 412
                                    

"Mau kemana, Kak?" tanya Abby saat Kak Sarah berjalan melewatinya di ruang tengah. Kakak perempuannya Dimas itu sudah mengenakan gaun tanpa lengan warna hitam selutut dengan clutch di tangan kanannya.

Kak Sarah tersenyum manis. "Malem mingguan sama Kak Rafi."

Abby menautkan kedua alisnya. Ia tahu Kak Rafi itu siapa, tapi... "Malem mingguan?"

Kak Sarah mengangguk dan ia memanggil Dimas, "Aku bawa kunci cadangan, dek. Jaga rumah, ya." Adiknya itu hanya menggumam tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi, menonton film kesukaannya, Tom & Jerry.

Setelah Kak Sarah keluar rumah disusul dengan suara klakson mobil, Abby bertanya pada Dimas. "Dim,"

"Hm,"

"Malem mingguan itu apa?" tanya Abby sambil menatap Dimas lekat-lekat. "Ini kan masih siang."

Dimas yang ditatap seperti itu langsung merasa tak nyaman, laki-laki itu berdeham sambil berpindah posisi sedikit ke kiri, mendekat ke Mario. "Hah?"

"Malem mingguan itu, kalau kamu sama pacar kamu pergi berdua pas hari Sabtu malem. Kak Sarah janjiannya dari siang ya biarin aja, bukan urusan kamu juga." timpal suara Mario yang datar.

Abby mengerucutkan bibirnya. Tidak tahu kenapa, dia super jengkel dengan Mario. "Oh, gitu. Makasih."

Mario melirik Abby sinis. "Nggak niat amat bilang makasihnya."

"Bodo."

"Idih,"

"Rio!" sentak Dimas dengan nada marah.

Mario yang dibentak oleh Dimas pun memberengut. "Kok kamu malah marahin aku sih! Cewek bolot itu tuh yang nyebelin."

"Abby nggak bolot! Abby ranking satu terus kok di sekolah." bantah Abby, Mario pun tertawa meledek mendengarnya.

"Dumb is never cute." kata Mario yang lalu melenggang pergi meninggalkan Abby dan Dimas ke kamarnya.

Abby melototi terus punggung Mario sampai cowok itu hilang di balik pintu yang tertutup. "Kapan sih dia balik ke asalnya?!"

"Papanya kan diplomat, sering pindah-pindah gitu," ujar Dimas. "Paling bulan depan."

Perlahan, kerutan di kening Abby menghilang. "Sering pindah? Terus sekolahnya gimana?"

"Ya, gitu... homeschooling."

"Temen-temennya?"

Dimas mengedikkan bahunya. "Nggak tau deh."

*

Abby bertepuk tangan dengan riang saat Dimas berhasil memasukkan bola basket berwarna oranye itu ke dalam ring.

"Main yuk, By." ajak Dimas sambil menarik-narik tangan Abby memelas.

"Ogah, ah." tolak Abby mentah-mentah. "Dimas main sendiri aja, Abby temenin."

Dimas membanting bola ke tanah lalu menangkapnya lagi. "Nggak asik!"

Abby mendengus. "Iya, deh, iya. Tapi Dimas ajarin Abby ngedribel bola, ya?"

"Beres!" Dimas tersenyum puas, lalu ia melempar bola itu ke Abby. "Pertama, jangan mantulin bola dengan cara menepuknya. Kebanyakan orang ngelakuin hal itu."

Abby mengangguk mengerti. Ia mulai mendorong bola itu ke bawah dan menangkapnya lagi saat bola itu memantul ke atas. "Kayak gini?"

"Wah, Abby hebat!" puji Dimas sambil bersiul.

Abby tersenyum malu. "Tapi nggak sehebat Dimas."

"Tapi Dimas nggak bisa nari balet kayak Abby,"

Abby terdiam sejenak namun ia kembali memperlihatkan wajah antusiasnya. "Abby mau coba ngedribel sambil lari deh."

"Pastiin kalau pas kamu bawa bola sambil lari, posisi bolanya itu ada di samping atau depan badan. Karena kalau pas di deket kaki, kita nggak bisa leluasa larinya dan nanti malah bolanya ngegelinding sendi―" Dimas menelan ludahnya. "―ri."

Abby berlari cepat mengejar bola yang lepas dari tangannya. Ia pun berbalik menatap Dimas dengan cengirannya. "Yah, bolanya nggak mau deket-deket Abby."

Dimas menepuk dahinya. "Baru aja dibilangin..."

"Ngomong-ngomong, Dimas belajar main basket dari siapa?" tanya Abby sambil memantul-mantulkan bola basket itu berulang kali.

"Papi yang ngajarin aku."

Abby menatap bola basket yang ada di tangannya dan beralih menatap Dimas lagi. "Dimas nanti mau malem mingguan sama Abby?"

Mulut Dimas ternganga lebar. Apa kata Abby tadi? Ia tidak salah dengar?

"Kita bisa main monopoli yang baru dibeliin Papa Abby," sambung Abby ceria. "Mau, kan?"

Dimas menarik napas dalam-dalam. Tenang, ini hanya ajakan main biasa dan bukan sesuatu yang besar.

Abby mengerutkan keningnya, melihat Dimas masih berdiri mematung dan belum menjawab pertanyaannya. "Dimas? Nggak mau, ya? Apa ada acara lain?"

Dimas mengibaskan sebelah tangannya cepat-cepat. "Enggak. Mau kok mau!"

Abby tertawa lucu. "Semangat banget,"

Dimas merebut bola basketnya dari tangan Abby, ia berlari lincah sambil mendribel bola dan berhenti di tengah-tengah lapangan basket mini di belakang rumahnya itu, sebelum ia mengangkat bola, menekuk lengannya, mengarahkannya ke arah ring lalu menebaknya langsung hingga bola itu masuk lagi dengan mulus ke dalam ring.

Satu lagi.

*

Malam itu hujan dan udara terasa dingin, menusuk tulang.

Abby lagi-lagi merasa jengkel karena Dimas datang ke rumahnya membawa orang itu. Kenapa mereka harus bertemu terus, sih?

"Dimas!!! Abby kan maunya main sama Dimas doang, bukan sama cowok sombong itu!" omel Abby seraya menunjuk-nunjuk Mario. Abby memicingkan matanya saat pandangannya dan Mario bertemu.

Dimas menaruh payung abu-abu yang ia pakai berdua dengan Mario tadi di samping pintu rumah Abby. "Abisnya, di rumah nggak ada orang dan Rio minta ikut soalnya dia takut sendirian."

Rio membuka mulutnya untuk bicara, "Aku nggak takut sendirian, tapi―"

"Yaudah deh, masuk gih nanti masuk angin." perintah Abby dengan tampang mengalah sambil membuka pintu lebih lebar lagi.

Dimas tersenyum lega, ia tadi benar-benar berharap kalau Abby tidak akan mengusir sepupunya itu dari rumahnya.

...

"Apaan nih, masa Abby kena-nya di tempat Rio terus sih!" rengek Abby kesal. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang monopoli dari tangannya yang dengan tidak rela ia berikan pada Mario.

Mario tertawa licik. "Siapa suruh nggak beli tanah mulu. Dasar bolot."

"Rio, nggak boleh gitu." kata Dimas memperingatkan.

Abby memutar kedua bola matanya, ia sudah tidak peduli lagi jika Mario mengejeknya. "Giliran Dimas, cepetan jalan."

...

"Udahan deh mainnya, Abby sebel kalah terus. Uangnya udah abis juga," kata Abby saat melihat pion Dimas berhenti tepat di atas gambar sebuah bangunan bertuliskan Amerika Serikat.

"Yeee, marah!" ledek Mario lagi. Semakin ia berhasil membuat Abby marah, entah kenapa ia semakin tertarik untuk mengganggu anak perempuan itu lagi dan lagi. Abby terlalu mudah untuk dibuat kesal, tapi Mario suka itu.

Abby mendecak pelan. "Lain kali mau ada geledek atau badai sekalipun, nggak usah ngajak Rio ke rumah Abby. Atau Dimas nggak usah dateng sekalian, ya."

Dimas mengusap tengkuk kepalanya. "Jangan gitu dong, By. Rio cuman bercanda kok..."

Abby menghela napas panjang. "Abisnya..."

"Yuk, pulang, keburu jam sembilan." ajak Mario yang sudah bangkit dari duduknya. Ia kemudian menatap Abby lurus-lurus. "Makasih, ya. I had fun."

Abby terenyak. Itu serius... Mario tersenyum? Padanya?

Cherry BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang