03: Luka Mario

150K 7.4K 169
                                    

Sepasang matanya menangkap sesuatu yang menarik persis di jalan depan rumahnya. Segerombolan anak seusianya tampak mengganggu seorang anak laki-laki yang tubuhnya lebih kecil dari mereka semua. Abby tahu siapa saja gerombolan itu. Mereka tetangganya yang sering berbuat ulah, memalak anak-anak yang lain. Abby sendiri belum pernah berhadapan langsung dengan mereka, lagipula mereka semua takut pada Abby karena ayah Abby―Andreas Hutama―adalah direktur utama di perusahaan ayah anak pemimpin gerombolan nakal itu.

Abby pun dengan berani berjalan ke arah mereka lalu mendorong salah seorang anak laki-laki yang hendak melemparkan kerikil-kerikil kecil ke arah sasaran mereka.

"Hei!" Anak itu bangkit dengan susah payah sambil mengumpulkan batu-batu kerikil yang terlepas dari tangannya.

"Apa?" pekik Abby dengan suara yang melengking. Ia meletakkan kedua tangannya di pinggang, mendelik ke arah anak itu.

Mereka terdiam. Tawa-tawa sinis mereka terhenti begitu saja. Ketakutan jelas tergambar di tiap-tiap wajah mereka. "A-Abby?"

Abby mencibir kemudian menoleh ke belakang untuk melihat siapa anak yang baru saja ditolongnya. "Eh, Rio...?" gagapnya. Jadi, orang yang ia selamatkan dari anak-anak nakal itu adalah... Mario?

Mario menatap Abby sengit. "Aku nggak papa, kok," katanya dingin sambil berusaha bangkit, menopang tubuhnya dengan tangan kirinya.

Abby meringis melihat luka goresan yang ada di telapak tangan Mario. "Tangan kamu berdarah," katanya segera membantu Mario berdiri.

"Aku nggak butuh bantuan kamu!" sergah Mario sambil menepis tangan Abby dari bahunya. Mario meniup-niup kerikil yang menempel di lukanya.

"Nanti kalau nggak diobatin bisa infeksi!" omel Abby yang gerah melihat sikap Mario yang jutek terhadapnya. Tatapannya melunak lagi saat memandang tangan Mario yang berdarah. "Ayo, kita obatin pake betadine di rumah aku."

Mario menggigit bibirnya takut-takut membayangkan jika nanti tangannya infeksi kemudian harus diamputasi oleh dokter. Akhirnya karena dia tidak menginginkan hal tersebut terjadi, dia pun mengiyakan tawaran Abby untuk mengobati lukanya di rumah cewek itu.

*

Abby menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Ia merasa cemas saat Mbak Dina membalutkan kain perban ke telapak tangan Mario dan anak laki-laki itu sesekali meringis kesakitan.

"Pelan-pelan, Mbak," rintihnya.

Tambah lagi Abby benar-benar kaget tadi sewaktu ia akan membersihkan luka Mario, ia juga melihat kedua lutut anak itu terluka dengan sisa-sisa darah yang sudah mengering.

"Rio tahan sedikit lagi, ya. Mbak tinggal kasih plester di lutut Rio." kata Mbak Dina. "Dah, selesai!"

Mario menghembuskan napas panjang. "Makasih, ya, Mbak."

Abby langsung menduduki kursi yang ditempati Mbak Dina "Kenapa kamu bisa dinakalin sama mereka?" tanyanya heran.

Mario mendesah. "Mereka tiba-tiba minta permen lolipop aku, terus aku bilang aja, 'Minta sama Mama kamu sendiri!' eh, akunya malah didorong sampe jatoh abis itu."

Abby mengangkat alisnya. "Pantes aja dia marah. Mamanya, kan, udah nggak ada."

Rasa iba langsung merayapi hati Mario, namun dia cepat-cepat berkata. "Terus, apa urusannya sama aku? Salah aku gitu kalau mamanya udah nggak ada?"

Abby mendecak pelan karena dongkol melihat tingkah Mario yang pongah itu. "Terserah kamu, deh."

Mario mengernyitkan dahinya menatap tangannya yang diperban.

"Apa lukanya dalem banget sampe diperban gitu?" tanya Abby polos.

Mario menggeleng. Jelas saja, luka goresannya dalam. Tangannya terkena jalan aspal yang masih diperbaiki dan terdapat banyak batu kerikil disana. Tapi, bohong sedikit tidak apa-apa, kan?

"Besok juga udah sembuh." jawab Mario tenang, padahal dalam hatinya ia mendumal setengah mati.

"Baguslah," Abby tersenyum lega sambil mengelus-elus dadanya sendiri.

Mario menyentuh dadanya. Kenapa ada sesuatu di dalam dadanya yang memberikan sensasi geli menggelitik seperti ini?

Cherry BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang