05: Für Abby

130K 6.8K 385
                                    

Mario tersenyum pada dirinya sendiri setelah menyelesaikan permainan biolanya. Lalu ia meletakkan biola kesayangannya itu di pangkuannya, menelusuri salah satu senarnya dengan jari telunjuknya, mengabaikan rasa sakit yang muncul di setiap inci tubuhnya. Walaupun ia sudah terlalu terbiasa dengan rasa sakit ini.

Rasa sakit tiap memainkan lagu menyayat hati yang ia rancang sendiri, satu tahun yang lalu.

Mario menatap anak perempuan yang di depannya lagi. "Itu kado ulang tahun dariku buat kamu."

"Bagus banget!" Bibirnya membentuk seulas senyum manis. "Tapi Abby belom ulang tahun..."

"Nggak papa, kan?"

Abby manggut-manggut saja. "Dengerin Rio main biola, Abby jadi pengin nari balet."

Mulut Mario membentuk huruf 'O' besar. Ia memasukkan biolanya ke dalam kotaknya dan menaruhnya di belakang tubuhnya."Kamu nari balet?"

Abby mengangguk berkali-kali. "Iya! Tapi udah dua bulan nggak les, Abby mesti latihan drama terus abis pulang sekolah."

"Mamaku juga dulunya balerina," gumam Mario sambil tersenyum getir. "sama kayak kamu dong, ya,"

Abby mengerutkan keningnya, tak enak hati. Lagi-lagi ia mengingatkan Mario tentang mendiang ibu anak laki-laki itu. Abby menatapnya simpatik, "Kapan-kapan mainin lagu itu lagi ya, jadi Abby bisa nari balet dengan lagu iringan Rio."

Mario memalingkan wajahnya, ia menyembunyikan pipinya yang merah dan terasa panas.

"Rio?"

Mario langsung salah tingkah. "Eh, i-iya."

Abby tersenyum senang. "Kalau gitu nanti Abby akan minta guru les balet Abby bu—"

Abby tak sempat menyadari apa yang selanjutnya terjadi. Yang ia tahu, Mario menempelkan bibirnya di pipi kanan gadis itu untuk beberapa saat sebelum akhirnya melepaskan dirinya lagi.

"Itu tanda sahnya janjiku sama kamu." ucap Mario lembut.

Abby merasa detak jantungnya menjadi dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia menarik napasnya, mengeluarkannya lagi dan melakukan hal yang sama sampai ketiga kalinya tapi tetap saja tak memberikan efek apapun. Rasanya jantungnya mau copot.

Abby tertegun menatap Mario yang lagi-lagi tersenyum padanya.

"Mau tau rahasia?" tanya Abby mendekatkan posisi duduknya dengan Mario.

"Aku suka rahasia."

"Kalau di Jepang, Abby dipanggil Yurara."

"Yurara?" Mario mengerinyit. "Eh, tunggu. Memangnya kamu orang Jepang?"

Abby mengangguk. "Iya, Mama Abby asli Jepang."

Mario tersenyum. "Artinya apa?"

"Artinya—"

"Rio! Dicariin Mami tuh!" panggil suara Dimas, sebelum Abby sempat menjelaskan arti nama panggilannya.

"Bentar, ya." bisiknya pada Abby lalu berlari menghambur ke belakang dapur.

Abby melipat kedua tangannya di dada. "Dimas kemana aja? Abby nyariin tau!"

"Kamu ngapain aja tadi sama Rio?"

Abby tergelak. "Apanya?"

Dimas tertunduk sejenak. "Ikut aku, By."

*

Tik. Tik. Tik.

Abby menengadahkan kepalanya, mengenggam kuat kedua rantai ayunan yang berada di sisinya. Dengan perasaan gusar, ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya untuk yang kesekian kalinya. Jarum panjangnya sudah mendekat ke angka dua belas dan jarum pendeknya menunjukkan angka enam.

Hujan sepertinya akan turun lagi hari ini.

Abby menolehkan kepalanya ke samping. "Aku nyempetin pulang duluan loh tadi buat nemenin Dimas maen basket."

Dimas menaikkan alisnya dan tersenyum. "Lagi males nih, mending disini aja."

Abby mencibir.

Dimas mengeluarkan desahan kecil. "Harus banget besok lusa ya?"

"Apa?"

"Dijemput sama Mama kamu..."

Abby menggoyangkan kakinya perlahan hingga menimbulkan suara decitan saat ayunan tua itu bergoyang. "Abby sebenernya nggak suka tinggal sama Mama, ditinggal kerja terus. Hari Minggu aja nggak pernah mau nemenin Abby maen tapi Mama maksa Abby harus ikut dia,"  rutuk Abby. "Nggak kayak Papa."

Kalau Dimas disuruh memilih dalam kondisi yang sama seperti Abby, dia juga akan mengatakan hal yang sama. Jarang sekali dia melihat Abby dan ibunya pergi berdua. Ibunya Abby memberikan keadaan yang sulit untuk Abby, apalagi gadis itu masih kecil. Seminggu dalam satu bulan, Abby akan tinggal di rumah ayahnya lalu dibawa oleh ibunya lagi.

Hayashi Erika itu model terkenal yang punya jadwal superketat. Dan ibunya Abby itu selalu menjadikan pekerjaannya sebagai alasan tidak bisa menjaga Abby. Jadi, beliau menyerahkannya pada pengasuh Abby, Mbak Dina.

Siapa coba yang tidak suka kalau ditarik-ulur tapi tidak diperhatikan begitu?

"Oiya, Dimas," Abby memanggil namanya. "Memangnya Mamanya Mario itu penari balet?"

Dimas mendengus. Kenapa harus Mario lagi sih yang dibicarakan Abby? Oke, bukan Mario. Tapi tetap saja berhubungan dengan sepupunya itu. Aish.

Dimas mengangkat bahu. "Iya kali."

Abby yang awalnya tersenyum langsung bingun melihat ekspresi kesal di wajah Dimas. Ia pun membungkam mulutnya, tahu kalau mungkin ada perkataannya yang menyinggung Dimas. Atau mungkin, Dimas juga rindu dengan ibunya Mario? Sudahlah.

"Abby pilih main sama Dimas atau Rio?" tanya Dimas curiga.

Abby menatap Dimas dengan tatapan aneh lalu terkekeh geli. "Ya sama Dimas dong!"

Dimas tersenyum bangga sekaligus puas dalam hati. Satu sama.

Tunggu.

Kenapa ia jadi membanding-bandingkan dirinya dengan Mario?

Cherry BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang