"Nih," Abby menyodorkan sekaleng Coca-Cola dingin yang ia baru beli di kantin, tangannya menggantung di udara selama beberapa saat karena Dimas tak kunjung menyadari kehadirannya. Abby mendengus lalu menempelkan minuman kaleng yang dipegangnya itu ke pipi kiri Dimas hingga laki-laki itu terperanjat.
"Ngelamun mulu,"
Dimas tersenyum tipis. "Arigatou." (thanks)
"Mikirin apa sih?"
"Bukan apa-apa," jawab Dimas. Ia menoleh memandang Abby heran. "Kamu nggak latihan softball? Dua minggu lagi ada turnamen, kan?"
"Terus kenapa gitu kalau dua minggu lagi tanding?"
"Kok nanya balik?" ujar Dimas semakin dibuat bingung oleh Abby.
Pasalnya, gadis itu tidak pernah bolos latihan softball sebelumnya. Dan ini pertama kalinya, apalagi ada turnamen besar yang menunggu. Kalau sekolah mereka tidak dapat mempertahankan gelar juara yang diraih oleh senior-senior Abby di tim softball tahun kemarin selama empat tahun berturut-turut, pasti pihak sekolah akan sangat kecewa dan marah besar. Belum lagi pelatih mereka yang akan semakin keras dan ketat dalam jadwal latihan. Karena tim softball sekolah mereka merupakan yang terkuat seantero Denpasar dan yang paling ditakuti untuk menjadi lawan tanding.
Abby cuma mengangkat bahunya. "Kamu tau, nggak, Tammie kemana? Udah tiga hari dia nggak masuk dan nggak ada kabar."
Dimas hanya diam dan tidak menanggapi ucapan Abby. Ia meneguk Coca-Colanya sedikit demi sedikit sembari berpikir keras.
"Dims?" panggil Abby.
"Nggak tau," jawab Dimas cepat.
Kening Abby langsung berkerut.
"Maksud aku..., ng... aku nggak tau dia kenapa. Dia kan temen sekelas kamu. Aku sama dia juga nggak deket-deket amat, kenalnya juga dari kamu." tambah Dimas buru-buru.
Abby membalasnya dengan anggukan kecil. Lalu termenung sejenak. "Kira-kira kenapa, ya, dia nggak masuk?"
Dimas melirik Abby pelan-pelan. Sebuah pertanyaan mendadak muncul di benaknya. "Abby, aku boleh nanya sesuatu?"
"Nanya apa?"
"Seandainya... ini cuma seandainya, lho. Seandainya kalau aku nanti jadi kuliah di Amerika gimana?" tanya Dimas hati-hati.
Raut wajah Abby berubah. Dari penasaran menjadi bimbang. Ia membuang muka dan bertanya, "Memangnya jadi?"
"Ya... nggak tau juga sih."
Abby menunduk. "Aku nggak ngelarang kok."
Dimas menatap Abby. "Terus kalau seandainya aku ngecewain kamu... gimana?"
"Hah? Maksudnya?" tanya Abby tak mengerti.
"Jawab aja,"
"Kalau kamu gak lulus kuliah atau di DO? Yaudah, nasib kamu emang." ujar Abby asal.
Dimas terkekeh. "Jangan ngedoain yang jelek-jelek dong, By."
Abby tak langsung menjawab, ia malah bangkit dan mengambil bola basket dari dalam tas Dimas di dekat kakinya."Ayo main one-on-one. Peraturannya kayak biasa terus yang menang boleh memerintah yang kalah,"
Alis Dimas terangkat sebelah. "Aku kadang nyesel udah ngajarin kamu basket."
Abby menjulurkan lidahnya sambil melemparkan bola basket itu pada Dimas. Laki-laki itu mulai mendribel dan berlari menjauh dari Abby.
"I'm not letting you win," kata Abby sambil berlari dan mencoba melakukan steal tapi gagal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cherry Blossom
Teen Fiction[TELAH DITERBITKAN] "Bagaimana jika mengubah takdir adalah takdirmu?" Pada awalnya, Abrianna "Abby" Fuyuko merasa hidupnya sudah lengkap: ia memiliki prestasi yang membanggakan, ayah yang selalu mendukungnya, sahabat-sahabat yang menyenangkan, dan j...