10: Kenapa Bukan Sekarang?

110K 5.9K 129
                                    

"Tammie." Bibir Abby melengkung melafalkan nama temannya. Dia tidak tahan berdiam lama-lama dengan Tammie. Dia tidak suka melihat Tammie yang menyedihkan, dia suka melihat Tammie yang ceriwis. Itu lebih baik.

Sebuah kamus Bahasa Perancis dijadikan bantal oleh kepala Tammie, hal yang biasa dilakukan jika dia begitu lelah karena begadang menonton tim sepakbola favoritnya berlaga. Biasanya. Tapi Abby tidak tahu alasannya kali ini, mungkin memang mengantuk atau alasan lainnya. 

Tammie kemudian mendongak dan menatap Abby datar lalu matanya menyipit dengan bentuk emosi baru yang sulit diartikan. "Ya?"

"Ada yang mau lo bicarakan sama gue?" tanya Abby, tiap kata semakin lirih daripada kata sebelumnya. "Lo punya masalah?"

Perlu beberapa detak jantung sebelum Tammie menjawab. Dia memandang keluar jendela kelas, tepat sekali pemandangannya ke arah lapangan basket. Kupu-kupu terbakar di dalam perutnya, rasa malu yang tidak terdefinisikan membakar tubuhnya dengan segelintir rasa penyesalan yang membebani dadanya.

"Nanti."

Hanya itu.

Kenapa bukan sekarang?

Abby mendengus pelan. Mungkin Tammie memang punya masalah yang besar dan dia tidak bisa dengan gampangnya bercerita dengan orang lain. Dan Abby termasuk di dalamnya. Abby tidak akan memaksa, dia bukan orang yang suka memaksa meski rasa ingin tahunya benar-benar membunuhnya.

Abby mengikuti arah pandangan mata Tammie ke jendela kaca bening itu, matanya memperhatikan jelas-jelas siapa atau apa yang sedang dilihat Tammie. Dan kata yang tepat ternyata adalah siapa.

Abby menunggu untuk mendengar Tammie berbicara lagi, tapi tak ada sepatah katapun yang keluar setelahnya. Cuma desahan kecil yang terdengar sangat pilu. Dan semakin lama Abby melihat objek yang ditatap Tammie, semakin pula indra penglihatannya berkabut dan mengaburkan matanya, menghalangi konsentrasinya... semuanya seakan buyar.

Dimas.

Kenapa Tammie menatapnya seperti itu?

*

"Kamu lagi bbm-an sama siapa, sih?" Abby tak lepas-lepas menatap Dimas. Tersenyum kepadanya. Sebuah senyuman yang berarti ganda—menyelidik dan mengamati. Serta ragu, atas segalanya.

"Niko?" tanya Abby dengan cengiran di wajahnya.

Dimas berdeham, tapi mencoba untuk menyembunyikannya. "Ah, bukan..."

Sementara Abby mencengkram jemarinya sendiri. "Tammie?"

Mata Dimas seketika melebar selebar rembulan.

Abby mencondongkan tubuhnya ke depan, merendahkan suaranya. "Gotcha!"

"Bukan!" Dimas mengibaskan tangannya di udara buru-buru. "Kenapa kamu mesti tau?"

"Kenapa enggak?" tanya Abby. "Kamu dan Tammie sama-sama aneh. Tiap aku bahas Tammie, kamu jadi gelagapan kayak gini. Dan tiap aku bahas kamu di depan Tammie, dia juga sama. Sama-sama salah tingkah," Jeda. "kalau kamu beranggapan aku nggak boleh tau, bisa jawab alasannya kenapa aku bisa mikir kayak gitu?"

Dimas berhenti, terkejut dan mengangkat dagunya. Ia memusatkan pandangannya ke wajah Abby dan gadis itu entah kenapa tidak menyukainya. Dalam enam belas tahun Abby mengenal Dimas, baru kali ini Abby tidak suka cara Dimas menatapnya.

Penuh perasaan bersalah.

Sama seperti Tammie. Tamara Lee.

Oh.

Cherry BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang