Entah kenapa Orix jadi gini XD. Jangan salahkan author. Maaf kalau ada kata kasar, dsb. Jangan lupa ngasih bintang ;). Thx.
"Hmm." Deheman Jojo memberhentikan pembicaraan kami. Sudah sadar rupanya.
"Gu..e.. di..ekh.. mana?" Suaranya serak. Ah, apa dia tidak sadar? ini UKS!
Aku tidak meresponnya. Hanya tatapan datar yang ku berikan. "UKS Vin.. lo pingsan." Rena yang menjawabnya. Ya, dia pingsan di pelukkanku. Lemah sekali dia. Masa pingsan? Ini berbeda sekali dengan cerita cerita yang kubaca, biasanya kan cewenya yang pingsan. Ini malah cowonya, eh aku kan bukan pas- Jangan dilanjutkan.
"Vin, Rix, gue keluar dulu ya.. Kalian gapapa kan gue tinggal." Oh, ya tentu saja Re. Aku tahu maksudmu.
Jojo mengangguk sementara aku melayangkan pandangan tajam kearah Rena, dan Rena sendiri hanya tersenyum kecil. Ah, menyusahkan. Lagipula siapa yang mau membuka luka lama? Aku tidak sebodoh itu.
"A..pa gue mela.. ekhem.. melakukan sesuatu yang aneh?" Ya, tentu saja. Kau menangis, menjabak rambut sendiri, menyayat tanganmu, berteriak histeris seperti wanita, kau memelukku, dan menggenggam tanganku selama pingsan. Jelas itu aneh.
"Tidak."
"Benarkah? Lo kenapa? Kok tegang gitu? Lo.. masih mau disini?" Usiran secara halus ya Jo? Oh, makasih. Aku menatap Jojo datar.
Haruskah aku bertanya? Jantungku berdebar kencang."Lo kenal Riya dimana?" Jantungku masih berdebar dengan kencang walau aku sudah berhasil mengatakannya. Jojo terpaku, antara ia ingin menjawab atau ingin bertanya balik padaku. Aku yakin-
"Lo mengenal Riya juga?" Nah, kan tebakkanku benar. Aku menghela nafas.
"Gue menginginkan jawaban, bukan pertanyaan balik." Entah kenapa aku jadi seperti ini.
"Gue kenal Riya bagaimana dan dimana itu bukan urusan lo." Nah kan, bocah tengil ini pasti tidak akan memberitahuku. Untuk apa aku bersusah payah membantunya.
"Yaudah. Itu terserah lo. Gue ga akan maksain buat ngebantu elo." Aku bangkit dari kursi dan menuju kearah hendel pintu.
"Apa maksud lo? Ngebantu apaan?"
"Nyelametin lo dari penyakit ini, Kevin Jonathan." Aku menutup pintu UKS perlahan. Tidak ada balasan. Semuanya tenang, semuanya kosong tapi tidak terasa kedamaian.
-ORI(N)X-
"Rix.." Aku berbalik. Oh, dia.
"Gimana Kevin?" Lihatlah dirimu, kau dipukul olehnya tapi masih mengkhawatirkannya. Apa specialnya anak baru itu sih?
Rautku masih datar. "Sudah siuman di UKS." nada biacarku juga datar. Glen menatapku heran.
"Lo baik baik aja Rix?" Tidak.
"Ya."
"Ga biasanya lo kek gini. Lo ada masalah Rix?" Banyak. Oh, ya.. Glen itu sahabatku juga. Walau dia bukan Morellox karena kami sudah close member. Dia adalah cowo yang bisa dibilang ganteng, dengan jabatan sebagai ketua osis SMA Maxwell dan seorang playboy cap kodok yang sudah level 15. Glendy Argantara Demastra, yap cowo yang bertubuh tinggi penggemar basket ini adalah sahabat cowoku. Dia baik banget. Lain kali aku kenalin sama sahabat cowoku yang lainnya.
"Gue baik baik aja." Ujarku dingin.
"Jangan bohong Orixia Orince.." Aku mendekatinya, tercium bau parfum yang menyengat. Ah, itu membuatku pusing.
"Untuk apa aku bohong Glendy?" Aku menabrak bahunya lalu pergi. Sebenarnya sih lengan karena aku lebih pendek darinya.
"Hari yang menyusahkan." Aku mengeluh pada diri sendiri. Aku tidak mau ikut campur masalah Riya lagi. Sudah, sudah cukup dengan masa lalu.
"Orix!" Lagi lagi ada yang memanggilku. Kenapa banyak banget sih yang manggil?
Aku mengerutkan dahiku. Tadi ketua osis, sekarang kutu buku paling terkenal sesekolahan ini. Kutu buku kok terkenal?
"Kalau lo mau ngajak masuk kedalam tim konyol yang ga bisa lepas dari buku, lo salah orang Zevan." Ia memutar bola matanya. Ah, aku ingin mencoloknya. Sadis? mungkin.
"Gue cuma mau ngasihin ini." Zee memberikan ku sebuah buku. Seperti buku diary.
"Buat apa?" tangan Zee masih menggantung diudara bersama buku itu. Aku tidak mau menggambilnya tanpa alasan.
"Itu dari Rena. Oh ya, dia titip pesan. Katanya, MRX udah tau semua. Gitu." Ah, Rena pintar. Dia memakai Zee untuk ini. Tapi buku siapa ini?
"Dia ga bilang ini buku dari siapa?" Zee menggeleng. Aku menghela nafas, lalu mengucapkan terima kasih.
Ah, aku jadi kebelet pipis. Pendengaranku menangkap suara langkah kaki yang bergerak cepat. Suara itu terdengar jelas karena sekarang sedang jam pelajaran, paling sebentar lagi isturahat.
Kurasakan tangan seseorang menarikku dan mendekapku. Siapa coba?? Rasa hangat dan ketenangan menjalar keseluruh tubuhku, bersamaan dengan itu tubuhku membeku. Aku sebenarnya ingin mendorong orang ini lalu memukulnya hingga pingsan, tapi entah kenapa aku malah terdiam. Buku digenggamaku terlepas.
"Rin.. Lo Orin kan? Lo Orin yang gue kenal dari tiga tahun lalu kan Rin?" Tiga tahun lalu? Ah, aku mengenal suara ini. Aku masih terdiam.
"Rin.. Orinva.. Semua manggil lo Riya, tapi gue manggil lo Orin. Lo bilang lo ga dipanggil Orin karena lo punya sahabat yang namanya Orin juga, dan lo benci sama dia karena semua orang sayang sama dia dan dia lebih dihargai. Sahabat lo itu juga punya keluarga yang baik, ga kaya lo. Sahabat lo itu hidupnya bahagia, ga kaya lo. Lo selalu bilang kaya gitu, lo inget kan Rin? Lo bahkan curhat ke gue.. Setiap kali kalian ultah bareng, Orin selalu di rayain sedangkan lo cuma bisa jadi tamu di ultahnya padahal ultah lo barengan dia. Lo selalu nangis dan dateng ke gue saat semua orang lebih memilih sahabat lo itu. Cuma gue yang ngasih lo kado saat lo ultah, dan cuma gue yang selalu ada di samping lo ketika lo terpuruk." Dalam diam, hatiku tertusuk. Kebeneran yang baru ketahui setelah gadis itu mati. Jadi dia sudah membenciku sejak dulu. Bener bener fake. Rahangku mengeras. Kenapa Kevin memelukku? Dia ingin mempermainkan aku? Aku bukan Orinva!!
"Rin? Kenapa lo pergi lama banget? Kenapa lo sembunyi? Kenapa lo tinggalin gue begitu aja? Kenapa Rin? Jangan pergi jauh Orinva."
Laki laki ini memang sudah gila. " Cieee! Orix sama Kevin jadiaannn Cieee. Uhukk! PJ dong! PJ!" Lagi lagi Cia -_-
Anehnya Kevin tidak terpengaruh dengan teriakkan Cia dan tatapan orang orang yang mulai memperhatikan kami. Huft, sudah istirahat rupanya. Baru sekarang tubuhku sadar dan meronta, meminta lepas dari dekapan laki laki ini. Munafik? entahlah.
"Rinn.." Kevin akhirnya melepaskan pelukkannya. Ia menatap wajahku sendu. Sedangkan aku memasang wajah sinis dan tatapan tajam. Tapi dia tidak terpengaruh. "Kenapa lo sembunyi disekolah ini? Kenapa lo mengulang hal yang sama saat kita pertama bertemu?" Tangan Kevin meraih pipiku dan menangkupnya. Aku menepis tangannya.
Plak.
Yup, inilah yang akan dilakukan setiap perempuan bila diperlakukan seperti ini.
"Sadar Kevin! Gue Orixia Orince! Bukan gadis murahan yang ada difikiran kotor lo itu!" Aku berteriak tepat didepannya. Masa bodoh dengan orang orang. "Gue bukan Riya si gadis bajing*n itu." Kali ini aku berbisik padanya. Aku mengambil buku itu dan melangkah menuju toilet. Aku sudah kebelet pipis sedari tadi. Huft.
Tatapan heran akan sikapku tidak aku pedulikan. Memang siapa mereka? Mereka cuma orang yang tidak tahu jalan cerita ini dan mereka hanya bisa berkomentar.

KAMU SEDANG MEMBACA
MRX1 - Ori(n)x
Novela JuvenilIni adalah cerita tentang Orixia, Orixia si gadis pemarah yang benci sama yang namanya Kevin. Tapi banyak yang bilang benci bisa jadi cinta. Apakah ini bisa terjadi di cerita kehidupan Orix? Apakah kisah Orix akan berakhir bahagia? Bagaimana dengan...