Part 4

32 4 1
                                    

Aku membuka pintu rumah. Keadaan dirumah sangat sepi dan gelap. Hanya ada suara petir dan hujan yang terus menghantam bumi.

Aku membuka tali sepatu. Mataku menjelajah kearah jam. Ini baru jam 5 lewat 30 menit. Untung Mama dan Papa belum pulang. Kak Orfan juga ga ada. Tetesan air jatuh dari ujung bajuku.

Aku segera menaruh sepatuku dibalik kurkas, berdoa saja semoga besok kering. Aku naik kelantai dua untuk membersihkan diri. Sehabis mandi aku langsung menuju meja belajar, banyak PR yang harus ku kerjakan.

Perlahan kepala ku mulai terasa berat, tapi jam baru menujukkan pukul 8. Aku memilih untuk tidur sebentar.

"Rin? Lo kenapa?" Aku merasakan tangan Kak Orfan menyentuh dahiku. "Rin kamu demam. Astaga Orin.." Aku membuka kelopak mataku, kepalaku terasa pusing sekali.

"Nih, Rin.. minum obat dulu." Aku mengerang, kepalaku bahkan terlalu pusing untuk menggeleng.

"Lo harus minum obat, kalau enggak lo nyusahin gue."

"Gue... ga.. bisa... bangun.." ucapku lemah.

"Astagaa, kenapa gue punya adek nyusahin banget yak. Lu mau bangun ga? Kalau ga gue telfon papa mama nih." Aku berdecak sebal. Kakak ku satu satunya ini paling gemar mengadu.

"Iya, iyaa." Sekuat tenaga aku terduduk. Tanganku menerima pil obat itu dan langsung menelannya.

"Pake sakit segala lo Rin. Istirahat sana, besok lo ga usah sekolah." Mataku melotot, apa apaan. Sudah bersusah payah ngerjain PR setumpuk masa ga dikumpulin? Kan sayang.

"Ga, besok gue tetep sekolah." Kak Orfan melotot.

"Gue bilang enggak ya enggak."

"Huh, dasar ditaktor."

"Iya.. lo kan babu gue."

"Ayolah Kak.. ada tugas nih. Please.. Yayaya?" Aku menunjukkan wajah memelasku.

"Ck. Iya. Tapi kalau lo mati tanggung sendiri."

"Siap boss!"

Perlahan rasa pusing ku menghilang. Aku menyambar ponselku dan membuka aplikasi line. Seperti biasa, chat 999+ dan aku malas melihatnya. Langsung ke TL ajalah.

Maxwell Internasional School.

Hi guys, kita mau ngasih kabar nih.. Dua bulan lagi, bakal ada lomba untuk sekolah sekolah internasional. So, Pak Resyawan mau kita bersiap siap, khususnya buat pelajaran Fisika sama Math. Akan ada dua orang yang dipilih dalam lomba ini buat wakilin sekolah Maxwell, ayoo semangat ya guys!

-Glen.

Aku memutar bola mataku. Sudah pasti orang yang akan dipilih adalah Morinka, tapi satu lagi siapa? Jojo? Ah, ga mungkin.. dia emang bikin Pak Resyawan terkesan, tapi belum tentu dia yang dipilih. Kali ini harus aku yang bantu Morinka.

Tapi kan.. masih banyak anak lainnya! Duh, tau ah.

-ORI(N)X-

Author Pov.

Derap langkah kaki terdengar di sepanjang koridor kelas 11. Suasana sepi ini terasa mencekam. Beberapa kelas lainnya sudah mulai belajar dengan guru masing masing. Tersisa kelas 11 IPA 4 yang belum dimasukki guru mereka.

Suara decitan pintu terbuka terdengar sampai kepojok kelas. "Maaf bu.. saya-" Satu kelas yang sudah bersiap menghadapi Bu Rissa, pun tiba tiba tertawa. Entah karena melihat wajah ketakutan Orix atau karena moment yang aneh ini.

"Lo minta maaf ke siapa Rix? Bu Rissa aja belom ada!" Celetukkan Daniel membuat Orix ingin menampol wajah Daniel itu. Orix tidak menggubrisnya. Ini pertama kalinya ia telat, untung Bu Rissa belum masuk. Ini semua gara gara Kakaknya-Orfan- tidak mengizinkannya masuk sekolah, sampai harus bertengkar dulu. Rencana Orix untuk mencari tahu tentang plat mobil itu harus ia tunda dulu gara gara hari ini terlambat.

"Jadi.. Orin si gadis tergalak di sekolah telat? Padahal, kemaren gue kira lo salah satu anak rajin, ternyata... perkira-" Orix menyumpal mulut Kevin dengan kertas robekan dari buku.

"Huek, ah, Ngapain coba lo nyumpel mulut gue pake kertas?! Mending pake makanan kek!" Orix menaikkan satu alisnya.

"Gue ga peduli. Yang penting lo bisa diem." Kali ini Orix menang. Dia tidak akan membiarkan si cacing tanah itu bisa mengganggu hidupnya. Sudah cukup penderitaan Orix. Tidak perlu ditambah lagi dengan keberadaan Kevin.

Orix sibuk dengan bukunya. Ia senang sekali membuat puisi.

"Rin.. Orin." Kevin memanggil nama Orix. Orix semakin jengkel dengan tingkah Kevin. Ia selalu memanggil namanya Orin.

"Orinnn. Orin!!!" Orix mengabaikan panggilan Kevin.

"ORIN!" Masih terus diabaikan.

"ORIXIA ORINCE!" Mendengar namanya dipanggil lengkap dengan volume besar, Orix menoleh kebelakang. Seisi kelas juga langsung melihat kearah Kevin

"Ya?" Orix tersenyum.

"Gue suka sama lo."

Deg.

Dan semuanya pun berubah. Detak jantung Orix tak sama lagi.

-ORI(N)X-

Orix melempar pulpen yang ada ditangannya. "Bego! Begoo!" Orix mengacak acak rambutnya sendiri.

"Kenapa gue sebego ituuuuu?? Aaaaa!" Suara ribut dari bawah terdengar.

"Orinn!! Lo ngapain tereak tereak coba?? Gue lagi sibuk! Jangan tereak tereak! Ga tereak aja suara lo udah toa! Gimana tereak!" Orfan memarahi Orix.

"Ck! Iyaaaa!" Orix menghempaskan tubuhnya ke kasur. Helaan nafas keluar dari bibirnya.

"Huaaaa, kenapa gue-"

"Orin! Lo mau gue naek keatas dan lakban mulut lo??!" Orix berdecak sebal.

"Kenapa gue bego banget ya?" Orix berbisik pada dirinya sendiri.

Flashback.

Tiba tiba saja jantung Orix berpacu dengan cepat. Entah apa yang terjadi padanya. Orix seperti terbuai dalan suasana. Yang ia lihat hanya bola mata Kevin, bola mata yang membuatnya....

Plak.

"Sh*t" Kevin mengumpat.

"Dasar cacing tanah! Lo ga boleh suka sama gue! Lo tuh nyebelin, cowo brengsek, ga bener. Manusia macam apa lo. Baru dua hari udah berani nembak gue! Denger ya, gue ga akan nerima lo!" Deretan kata kata itu keluar dengan begitu saja tanpa disaring oleh Orix. Hatinya senang, tapi sepertinya tidak dengan akalnya.

Dan seketika, setelah Orix menyelessaikan kata katanya, Rinka, Riska, Lyva, Eva dan Rere pun tertawa terbahak bahak. Anak anak yang lain hanya melonggo, tidak tahu apa yang terjadi.

Orix mulai merasa ada yang tidak beres. Dan firasatnya sepertinya benar.

"Rix.." Riska tertawa sambil memegangi perutnya. "Kevin itu.. dia kena dare dari kita.. Dia ga bener bener ngomong itu Rix." Riska masih terus tertawa.

Jederrr, dan firasat itu benar. Orix merasakan pipinya memerah karena malu. Ia langsung berbalik menghadap depan meja guru yang kosong. Gelak tawa menghiasi kelas ini.

"Enggaakkkk.. Ah, begonya gueee. Mana mungkin cacing tanah langsung suka sama gue. Gue bertindak begooo!" Terdengar suara langkah kaki yang menaiki tangga. Dan kemudian, pintu kamar Orix pun diketuk dengan keras.

"Orixxxx! Buka pintunyaa! Gue harus bawa lo ke psikiater!" Orix menghembuskan nafas beratnya. Ia memilih untuk mengabaikan gedoran pintu kamarnya dan kembali mengerjakan PRnya. Walau sebenarnya fikirannya terus berfokus pada kejadian tadi disekolah.

*

MRX1 - Ori(n)xTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang