Chapter 6

4.3K 279 23
                                        

Veranda's POV

Sekarang aku sudah berada di balkon apartemen. Cahaya matahari yang terbenam menemaniku sendiri. Meja kecil yang ada di dekatku menjadi tempat aku menaruh teh hangat. Agak aneh memang, meminum teh hangat di depan matahari yang terbenam. Tapi setidaknya hal itu mampu mengurangi stress yang memenuhiku sekarang. Aku mengirimkan beberapa kalimat ke temanku Beby melalui Line.

Ve: Beb, kok kamu gak kasih tau sih kalau Kinal udah punya pacar? Sumpah aku mau mati dengernya kemaren. Harusnya kamu bilang dari awal Beb. Percuma aku buat semua rencana ini kan.

Ve: Pacar Kinal siapa Beb? Kirimin fotonya juga ya.

Sekitar 5 menit fokusku tetap kepada pesan yang baru saja kukirimkan. Aku berhenti menunggu balasan chat dari Beby dan menaruh handphone di samping teh, memutuskan untuk memandangi matahari saja. Sebetulnya aku kurang suka dengan sunset yang warnanya terlalu mencolok bagiku, tapi hangatnya tak pernah bisa ditandingi oleh apapun. Sama seperti dia.

Bangunan-bangunan Jakarta yang menjulang tinggi menutupiku dari melihat matahari langsung. Entah kapan sang mentari terbenam, tak terasa langitnya makin gelap sampai lampu-lampu jalanan sudah menyinari lalu lintas. Cuacanya terasa masih hangat walaupun sedikit hawa dingin mulai muncul. Tehku yang sudah dingin kuminum sedikit. Handphoneku menunjukkan pukul 06.25 PM. Masih belum ada balasan chat dari Beby.

Tiba-tiba kedua mataku ditutupi oleh jari-jari yang lembut. Aku meraba-raba tangan itu lalu mencoba melepaskannya dari mataku. Kedua mataku kembali terbuka dan aku merasakan kedua pundakku dipegang. Kinal.

"Cantik ya langitnya," ujarnya selagi memijat-mijat pelan bahuku. Tak ada jawaban yang kuberikan. Lidahku terasa beku bukan karena sentuhan lembutnya, melainkan karena teringat percakapanku dengan Jeje tadi pagi. Gak, langitnya gak cantik. Kamu gak lihat bintangnya hilang karena polusi dan jiwanya ditusuk sama bangunan tinggi?

"Kayak kamu," lanjutnya sebelum berhenti memijat pundakku. Aku yakin ia sedang menyeringai sekarang.

Gombalan payah itu tak mampu membuatku tersenyum. Setelah beberapa saat suara keluhan kudengar dari arahnya lalu ia pergi dan mengambil kursi kosong yang ada di ujung balkon, membawanya sampai kursi itu sekarang berada tepat di kiriku.

Dia tidak langsung duduk, melainkan meninggalkanku lagi. Tak lama kemudian ia hadir lagi dan duduk di kursi itu. Di samping tehku ada ember kecil bertuliskan merk es krim di sana serta satu sendok di atasnya. Ah tidak, ini sudah malam. Dia bisa sakit kalau makan es krim.

Tehku yang masih ada sedikit tiba-tiba diambilnya dan langsung di minum. "Gak enak ih, kok gak ada gulanya? Udah dingin juga."

Aku gak perlu gula yang manis tapi berbahaya kayak kamu.

Perkataannya tak kuhiraukan dan aku hanya mengambil handphoneku. 06.46 PM. Belum ada juga balasan chat dari Beby, hanya pesan-pesan dari temanku yang bahkan malas untuk kubuka.

"Mbak Badai senyum dong, nanti Kinay nangis loh..."

Kini suaranya membuatku menaruh handphone di paha. Dia sedang berlutut dengan celana piyamanya yang digulung sampai ke atas lutut. Kedua pipinya digembungkan, sementara rambut pendeknya diikat. Mengetahui aku memerhatikannya, ia tersenyum dan mengerjapkan kedua matanya di depanku.

Jangan buat aku merasa bersalah, sayang.

"Nangis aja sana," tuturku judes. Tanganku menaikkan handphone sehingga sekarang wajahnya tertutupi oleh benda itu. Aku tak tau mengapa bibirku mengeluarkan kata itu.

Pahaku ditepuk dua kali. "Kamu kok jahat sih, Kinay nangis nih!" Tanganku yang memegang handphone ditarik oleh tangan kanannya. Tubuhnya lebih dekat sekarang, tangan kirinya berada di atas kedua pahaku.

Taking What's MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang