Chapter 11

5.1K 298 53
                                    

Note: Piano disklavier: piano yang bisa bermain sendiri. Umm kayaknya. *bukan pianis*

Minggu-minggu terlewati tanpa interaksi antara Veranda dan Kinal. Masing-masing sibuk dengan dunia sendiri, Kinal dengan kerjanya dan Veranda dengan kuliahnya. Hari-hari libur yang biasa mereka gunakan untuk bersenang-senang pun makin lama terasa sepi semenjak adanya ketegangan antara dua insan itu.

Di lobby apartemen tempat tinggal mereka, Kinal terduduk sendiri di salah satu sofa. Kedua matanya terpaku pada layar smartphone sejak setengah jam lalu. Di smartphone itu juga tertulis waktu setempat. Thursday, December 24 2015. 8:43 AM.

"Woy bro!"

Sebuah tepukan mendarat di bahu Kinal. Kinal tersenyum sendiri, "Iya Nyaih Jejeeeeeee~". Jeje menarik Kinal pergi dari lobby apartemen itu.

Kini mereka sudah sibuk menambahkan hiasan di pohon Natal besar yang ada di rumah Jeje. Pohon itu sudah dihias, hanya saja mereka ingin menambahkan hiasan lain. Kinal sedang memilih-milih ornamen dari sebuah kotak besar, sementara Jeje berdiri di tangga yang berukuran sedang.

Ruang tamu Jeje berukuran sangat luas. Di dekat sofa-sofa ruang tamu, terdapat piano Disklavier berwarna hitam yang menarik di mata. Jeje sendiri juga pernah berkata kalau semua musik dari piano itu adalah hasil permainan jari-jemarinya.

"Je," panggil Kinal. Ia memberikan dua buah ornamen berwarna merah kepada Jeje. "Lu besok ada waktu luang gak?"

"Sorry ya, banyak jadwal cyinn~" jawab Jeje. "Besok mau liburan seharian."

"Wah beneran Je?" tanya Kinal.

Jeje mengaitkan salah satu hiasan tadi di pohon cemara, "Iya, besok selesai gereja langsung family time sampai malem Nal." Dikaitkannya juga hiasan yang satu lagi. "Trus lusanya juga mau nonton sama keluarga."

"Wah, aku gak bisa ngasih hadiah dong," lanjut Kinal. Tangannya sudah memegang hiasan lain, kali ini sebuah ornamen merah berbentuk hati.

"Mau ngasih apaan emang?" tanya Jeje.

"Naaaah! Gue pun belum tau Je!" seru Kinal. Ia memberikan ornamen hati berwarna merah tadi kepada Jeje.

Jeje tersenyum seri, "Elah elu mah."

Gadis pemain piano itu mengusap-ngusap ornamen di tangannya. Ia amati ornamen hati itu, sebelum perlahan turun dari tangga. "Nal, gue minta hadiah lah, hari ini aja lu kasihnya."

"Hadiah apaan emang?" tanya Kinal.

"Mobil."

Kinal cemberut canda,"Woyy!"

Jeje terkekeh-kekeh dan mengambil kotak berisi ornamen dari Kinal. Ditaruhnya di lantai, bersamaan dengan ornamen hati di dalamnya. "Yaudah tutup mata lu dulu Nal."

Kinal mengikuti apa yang diperintahkan Jeje. Sang pianis menelan ludahnya. Nada bertempo pelan dari piano makin membuatnya memanas. Diraihnya kedua pundak Kinal, sementara badannya bergerak mendekati si gadis berambut pendek.

"Maaf ya Nal."

Cup.

Jeje mengecup bibir Kinal pelan. Detakan-detakan jantungnya sama sekali tak membantu. Hanya mengandalkan pegangannya pada pundak Kinal, tubuhnya mencoba sekuat tenaga untuk tetap berdiri.

Sang gadis berambut pendek membuka matanya pelan, disambut oleh sepasang mata coklat tua yang hangat. Hatinya sendiri berdesir halus. Kedua pipinya memerah, tangannya pun ikut melingkari pinggul Jeje. Hal yang ia rasakan, hampir sama rasanya seperti saat berdua dengan Veranda.

Taking What's MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang