Chapter 9

4.2K 285 37
                                    

Kinal's POV

Alarm handphone membangunkanku dari tidur tak nyenyak. Sakit, itu yang kurasakan saat mengerjapkan kedua mataku. Kupaksakan tubuhku untuk duduk dan mengambil handphone dari atas meja, hanya untuk disambut dengan cahaya yang menusuk mataku ini.

4.30 AM

Sekelilingku terlihat berbeda dari biasanya. Televisi, meja, dan beberapa majalah di atasnya. Ah, ini ruang tamu. Aku pasti tertidur di atas sofa panjang karena semalam.

Bayangan tentang kejadian tadi malam bertengger di benakku. Jari-jariku terasa lemas, sekaligus agak basah. Peluhku bercucur walaupun udara masih dingin. Entah siapa yang salah, entah siapa yang menjadi penyebab kekacauan ini. Mungkin aku. Mungkin juga dia.

Air mataku mulai berlinang. Sial!

Tubuhku berdiri dan meninggalkan sofa itu. Kakiku berjalan tanpa tujuan, sampai aku sadar kalau pintu kamar sudah berada tepat di depanku. Ragu-ragu kusentuh kusen pintu yang dingin, pelan-pelan memutarnya lalu masuk ke dalam kamar, berharap Ve tidak mendengar gerakanku.

Itu dia. Tertidur membelakangiku. Tidak denganku di sana. Jari-jari kakiku berjinjit menghampiri sisi lain dari tempat tidur. Tanpa suara aku mencoba naik ke atas kasur empuk, dan berbaring menghadap Ve.

Napasku diambil begitu saja. Getaran-getaran singkat namun berjumlah ribuan menghujam dadaku. Tepat di depanku, malaikat cantik beristirahat dengan pulasnya. Sukses membuatku kagum terpana. Aku akui, dia memang sempurna, jauh dariku yang tak bisa apa-apa. Jauh dariku yang cuma menyakitinya.

Hal pertama yang memikat mataku adalah wajahnya itu. Paras yang cantik, terlalu cantik. Tampak tenang sekali ekspresinya, tiada beban ataupun emosi, tidak seperti semalam. Tenang, tanpa aku.

Ingin kutepiskan beberapa helai rambut yang mengganggu wajah cantiknya. Tapi apakah aku masih berhak untuk menyentuhnya lagi? Memainkan rambut panjang yang lebih halus dari sutra, dan cuma bisa kutemui saat bersamanya. Menghirup aroma shampoo yang menjadi pemanis di tiap pagi, memeluk raganya yang menjagaku tiap malam. Apakah aku masih berhak?

Sumpah serapah kukirimkan untuk diriku sendiri. Aku menyesal, sangat menyesal mengingat kejadian tadi malam. Memang Ve-lah yang membentakku. Memang aku yang tampak disakiti. Tapi pelupuk mataku masih mengingat jelas tangisannya semalam, sebelum ia lari ke kamar milik kami. Berjam-jam juga aku menangis dan merutuki diri sampai tertidur membuatku sadar akan kesalahanku semua.

Andai aku punya mesin waktu, akan kugunakan untuk pergi kembali ke tadi malam. Aku tak peduli kalau kami pernah bertengkar bahkan berpisah sebelumnya. Jiwa kecilku cuma menginginkan adu mulut semalam menjadi tiada, diubah menjadi tawaan renyah atapun candaan ringan. Jujur saja, lebih kupilih untuk tetap bertengkar dengan pacar sialan milikku dibandingkan dengan sahabatku sendiri.

Ah, lantas kenapa aku malah mementingkan sosok pacar tak berguna itu? Argh! Good job, Kinal. Dirimu sudah sampai pada tingkat paling tinggi seorang sahabat.

Maafkan aku Ve, aku tau aku salah. Semua kendali cakapku hilang pergi ke mana semalam. Seharusnya lenganku bisa memelukmu hangat seperti pagi hari biasanya, diam-diam berbisik memecah keheningan, ataupun menggelitik perutmu sampai kau tertawa kecil.

Bukan membuatmu menangis seperti ini...

Segenap keberanian kubendung untuk melawan takut. Tangan kananku mendekati wajah Ve perlahan. Rasanya berat sekali, jantungku sudah mau copot hanya menggerakkan tangan saja. Sekian detik terlewati hingga aku benar benar sanggup menggunakan ibu jariku untuk menepiskan rambut yang menghalangi wajahnya.

Taking What's MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang