Part 2 : Membingungkan

99.3K 5.9K 148
                                    

Tulisan ini aku buat sewaktu aku belum belajar EYD yaa hahaha jadi tulisannya pure acak2an. Aku gak sempet ngeshare versi yg udah di edit dri laptop. Makanya ini tuh naskah mentah.

Jadi kalo ada yg baca dan mengernyit karena acakadulnya naskah ini, kalian bisa bandingkan dengan versi ebook terbaru atau versi cetak terbarunya yaa hihihhiii...  Bagi yg udah memiliki sih...  Sip sip happy reading yaaaa

**

Aku percaya, tak ada yang namanya kebetulan dalam hidup. Mungkin kita hanya tak sanggup menerimanya sebagai takdir Tuhan. Hingga kita selalu menyangkalnya dan meniadakan apa yang di namakan takdir itu sendiri.

Seperti ketika yang ku sebut kebetulan kembali mempertemukanku dengan Ken, malam itu. Keanu Abraham, siapa yang bisa melupakan sosoknya. Jika di bilang ia adalah sosok sentral dari segala kekacauan yang terjadi. Mungkin jika ia tidak membunuh kakakku, Dimas hanya akan berakhir di dalam penjara. Dan ayahku mungkin masih hidup hingga detik ini. Tapi faktanya, tak akan pernah sama seperti yang kau harapkan.

“Sebelum jam tiga, langsung tinggalkan kantor.”

Aku mengangguk tak melepas kegiatanku yang sedang mengoles roti tawar dengan selai cokelat untuknya. Dia sudah mengatakan semalam sewaktu kami beranjak tidur. Samuel akan datang ke kantor. Rapat bulanan kantor cabang perusahaan yang di pimpin Ken, kali ini akan di hadari oleh kakak laki-lakinya.

Ken tidak ingin keluarganya tahu bahwa aku bekerja di perusahaan mereka. Bukan karena Ken peduli padaku. Bukan, sungguh bukan karena itu. Ken sudah membuang jauh kepeduliannya terhadap diriku. Begitulah yang selalu ia ingatkan terhadapku.

Ken hanya tidak ingin memperkeruh suasana yang memang sudah keruh sejak dulu. Lagi pula, jika keluarganya tahu aku masih berkeliaran di sekeliling mereka, hal itu akan membuat kewarasan ibu Ken terganggu. Ditambah, Ken juga tak ingin menjadi pihak yang di persalahkan oleh keluarganya. Ken tak ingin namanya tercela. Ia tak mau namanya kotor karena menyimpan kotoran di dekatnya.

“Sepulang dari kantor, aku akan kesupermarket sebentar. Bahan makanan di kulkas tinggal sedikit.” Kataku setelah menggeser roti  kehadapannya.

Ia tampak mengernyit tak suka. Namun aku tak berniat membalas tatapannya. Ken dengan sikap memonopolinya adalah sejenis paket menyebalkan lain yang pernah ada. Ia tak pernah membiarkanku keluar sebelum memperoleh persetujuan darinya. “Okey, hanya satu jam. Jadi jam empat, ketika aku telepon nanti, kamu sudah ada disini.”

Ken memang memberikanku kehidupan. Namun hanya sebatas keinginannya. Ia membiarkanku bekerja di perusahaannya  semata-semata agar ia dapat memonitoring kegiatanku sepenuhnya.

Rasa jengah menyelimutiku lebih awali pagi ini. Aku bukan siapa-siapa selain tawanannya. Ia berkata aku layak mendapatkan pengekangan itu, setidaknya aku berada di dalam penjara yang ia buat. Bukan penjara milik kepolisian. Ku angkat kepalaku dan melihatnya tengah memasukkan roti kedalam mulut. Ingin mendebatnya, namun aku tahu usahaku pasti sia-sia.

Akhirnya kuhembuskan nafas kalah. “Berapa lama rapatnya?” ini jelas hanya basa-basi semata.

“Dua jam mungkin.” Jawabnya pendek. Aku mengangguk sebagai respon bahwa aku mengerti. “Jangan masak, aku makan malam di luar.” Tambahnya masih dengan nada acuh.

Aku terdiam. Tanganku berhenti mengoles selai strowberry untukku. Aku menatapnya dalam keheningan. Thalia pasti sudah kembali.

Kekasihnya.

“Thalia pulang hari ini, Mom ingin makan malam dengannya.” Benarkan?

Aku tak menjawab. Karena memang tak perlu menjawab. Bukan karena cemburu. Tidak.

PASSION TEARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang