Part 10 : 'Dia' kesalahan

65.4K 5.8K 251
                                    


***

Jantungku tengah berderak sekencang kereta kencana di ujung laga. Darahku berdesir kemudian menghilang meninggalkan tubuhku, seolah mereka adalah pengecut yang tak ingin membantuku berperang saat ini. Pori-pori di kulitku kembali menggeliat terbuka, sebagai peringatan bahwa air asin dari kulit tersebut siap membasahi tubuhku lagi.

Gemetarku belum sepenuhnya menghilang, namun sekali lagi rasa itu datang tanpa permisi. Kakiku sudah terasa selemah agar-agar, beruntung ada tembok yang bisa ku gunakan untuk berpegangan.

Ini jelas jauh dari ekspektasiku selama ini. Jauh dari khayalku mengenai pertemuan keluarga atau kerabat lama yang tak bertemu sekian tahun. Ya Tuhan, ini tidak seperti acara televisi yang pernah ku tonton. Karena jelas sekali tak ada air mata yang menggantung di mata kami ketika pertama kali bertemu.

Samuel menatapku bagai singa kelaparan. Matanya berkilat akan amarah dan dendam. Marah, karena mendapatiku kembali menjadi sosok nyata. Karena selama ini aku bagai sosok bayangan yang di benci hanya dengan nama. Nafasnya terdengar memburu, kemudian aku mendengar geraman dari mulutnya sebelum ia melangkah untuk menerjang tubuh.

Ya Tuhan, apakah aku akan mati hari ini?

Aku ketakutan.

Aku ingin memejamkan mata agar tak melihat amarahnya. Namun tubuhku mengkhianati apa yang ku perintahkan. Karena alih-alih menutup, mataku terus memandang tubuh tegap Samuel yang perlahan semakin dekat.

"Alif..." Desis pria tampan berbalut kemeja santai dengan jins hitam tersebut.

Aku pernah melihat Samuel semengerikan ini, yaitu saat pemakaman Lusi. Saat dimana ia berteriak kepadaku karena aku datang kerumah mereka. Dan itu adalah ingatan terakhirku mengenai ekspresinya. "S-Sammy...", jadi aku hanya sanggup berbisik. Tidak mampu menggerakkan seinci pun tubuhku dari lantai ini. Bahkan mataku tak mampu teralih akan sosok pria mapan dengan mata sewarna samudera.

"Apa yang kamu lakukan disini?!"

Aku terkesiap detik itu juga. Aku tak tahu kapan ia sampai tepat di depanku. Aku tak tahu kapan ia mencengkram lenganku. Sungguh, tatapanku tak pernah beralih dari sosoknya. Namun aku tak tahu kalau ia bisa secepat ini. Tubuhku meremang, terlebih menggigil karena ketakutan.

Bibirku bergetar dan aku sudah merasakan pipiku basah karena air mata. "S-Sam...", bisikku tercekat.

"Apa yang kamu lakukan disini?" Ia kembali mendesis, sementara cengkramannya di lenganku juga semakin kuat.

Aku kesakitan. "Sammy...", sungguh aku tak tahu apa yang harus ku katakan, jadi aku hanya mampu memanggilnya berulang kali. "Sammy..."

"Berhenti menyebut namaku, Alif. Berhenti menyebut namaku!!" Matanya melotot semakin mengerikan. Sama sekali tak terpengaruh oleh gemetar tubuhku yang aku yakin ia rasakan. "Jadi apa yang kamu lakukan disini?"

Kembali pertanyaan itu berulang. Dan aku sama sekali tak tahu harus menjawab apa. "A-aku...", ucapanku tersendat di tenggorokan entah apa yang harus kukatakan. Ya Tuhan, tolong biarkan aku bicara.

"Sam—“

"Jangan lagi menyebut namaku, sialan!!"

Ya Tuhan, Ya Tuhan, bahkan ia berani membentakku.

"Katakan apa yang kamu lakukan disini?!!" Kembali suaranya menggelegar menghancurkan indra pendengaranku yang sensitif. Menimbulkan getar lain yang lebih menyeramkan dari sekedar ketakutan.

Aku ingin tak sadarkan diri sekarang Tuhan. Tolong, buat aku pingsan detik ini juga.

"Sammy—“

PASSION TEARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang