Part 6 : Intuisi Seorang Ibu

67.2K 5.2K 77
                                    


***
Aku mengerjapkan mataku sesaat setelah akhirnya terbangun. Ini sudah terlalu siang.

Dan aku meringis kala mulai menggerakkan tubuhku yang terlentang di balik selimut. Oh, ya ampun, aku tak bisa bergerak.

"Aw..." Aku mencoba menggeser lengan Ken dari pinggangku. Tak peduli jika ringisanku akan membangunkan sosok pria yang berbaring telungkup dengan punggung telanjang yang terekspos bebas.

Aku kembali mengerang, saat merasa tubuhku remuk redam. Ingin mengumpat rasanya, namun aku tak memiliki pembendaharaan kata kasar sekarang.

"Oh Ken, please..." Rintihku mencoba untuk sedikit bangkit.

Aku merasa Ken bergerak, namun hanya untuk mengubah posisinya. Pria itu tampak tak terusik dan hanya berbaring memunggungiku. Oh sial!!

"Ken..." Aku mengeluarkan tangan untuk menyentuh bahunya. Seakan lupa bahwa malam tadi ia telah mengamuk bagai orang kesetanan. "Tolong aku," kembali mendesaknya, aku mengguncangkan sedikit bahunya.

Ia berdecak, singkat memang, namun aku tahu ia telah merasa terganggu. "Ken, bantu aku bangun." Kembali ku goyang bahunya.

Dan seperti dugaanku, akhirnya ia melihatku juga. Walau berupa tatapan malas orang bangun tidur. "Apa sih, Na?" Jelas sekali ia sangat jengkel.

"Aku mau mandi." Kataku sebelum ia sempat berbalik untuk kembali memunggungiku.

"Mandi tinggal mandi'kan? Jangan laporan untuk hal kecil itu. Ganggu!"

Aku berdecak sesaat setelah ia lagi-lagi memunggungiku. aku tak bisa merasakan ujung jari kakiku sekarang ini. Ya Tuhan, Ken benar-benar kesetanan. Seperti orang gila, dia mencabik-cabik gaun seharga lima juta bagai mengoyak selembar kertas tanpa beban. Mematahkan hak sepatu yang juga baru ku beli bak sebuah ranting pohon. Begitu mudah. Dan sama sekali tak merasa bersalah.

Dan sekarang ia berusaha terus memejamkan matanya. Sementara aku tengah teronggok tak berdaya seperti ini? Oh tidak akan kubiarkan. Jadi aku kembali mengguncang tubuhnya, tak peduli jika nanti ia akan kembali membentakku. Toh, aku sudah terbiasa'kan?

"Ken, ayolah, aku butuh mandi." Rengekku menyerupai bayi kelaparan.

Aku mendengarnya berdecak, jadi dengan kesadaran penuh, aku menarik tanganku. Bersiap untuk mendengar teriakan, makian, atau apapun yang ia ucapkan nanti.

"Tsk, apa-apan sih Na?!" Ia mengusap wajahnya kasar. Jelas sekali pria ini masih terlalu mengantuk untuk bangun. "Kenapa, hah?! Kenapa?!" Ia lantas duduk, tak acuh pada selimut yang tak lagi melindungi tubuhnya.

Mungkin jika di hari biasanya aku akan langsung menatapnya penuh minat. Karena Ken, terlalu sayang untuk di lewatkan. Apalagi ketelanjangannya, oh, tolong jangan panggil aku mesum. Tapi jujur saja, Ken adalah paduan kesempurnaan ketika ia lengkap dengan stelan kantornya. Namun, ia merupakan sebuah keperkasaan kala telah melepas atribut kekantorannya.

Oh sial, bahkan dalam keadaan buruk seperti ini pun aku mampu membuat hipotesis mengenai dirinya dan aura sensualnya.

Kembali pada tatapan jengah yang ia sematkan untukku, aku mengerjap santai, berusaha untuk tak terlihat merona. "Tubuhku seperti remuk, Ken." Aku mengadu padanya. "Kamu membuatku seperti tak lagi memiliki tulang."

"Itu kesalahanmu sendiri." Celetuknya mematikan lampu tidur. "Kamu memaksaku melakukannya. Melanggar aturanku, kamu bahkan dengan berani melangkah tanpa seizinku." Sungguh, aku tak tahu jika Ken bisa secerewet ini.

"Please, kamu seperti ibu-ibu di pasar pagi ini." Gerutuku cepat. "Aku udah jelasin dan sungguh itu untuk pertama dan terakhir kali." Aku sudah menjelaskan dengan linangan air mata tadi malam. Namun Ken tampak tak terlalu antusias dengan penjelasanku.

PASSION TEARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang