Haruskah aku berteriak kencang agar kau menoleh padaku?
Atau haruskah aku menjadi balon hijau yang meledak hanya untuk membuat hatimu kacau?
Dan mungkinkah kau lebih menginginkanku menjadi bangau kurus yang tak bisa makan karena kau tak juga muncul untukku?
katakan,
katakan dimana aku harus menempatkan diri dalam kisah yang ingin kau ukir kasih?***
Sore belum sepenuhnya menyelimuti langit ibukota ketika aku menapakkan kembali kakiku ke dalam gedung Apartment mewah ini. Ku pijat pelipisku untuk mengurangi sedikit denyutan di kepala.
Ada acara di kantor. Beberapa proyek besar telah rampung di selesaikan, sebagai hadiahnya, pihak perusahaan memberikan izin untuk merayakan kesenangan itu. Memangkas jam kerja lebih awal dari hari biasanya. Dan aku beruntung dapat meloloskan diri dari teman-teman kantorku yang ingin mengajak pergi untuk sekedar makan-makan.
Aku tak enak badan, juga tak enak hati. Aku benci mengakuinya, namun itulah yang kurasakan semenjak melihat Thalia berada di lantai dimana ruangan Ken berada. Oh oke, aku harus mengatakan bahwa tujuannya memang hanya ingin menemui kekasihnya. Dan kebetulan pula, kekasihnya adalah orang yang hidup bersamaku di dalam kompartment mewah ini.
Demi Tuhan, aku tak bisa mengontrol perasaan seperti apa yang ku inginkan. Kenyataan bahwa berbicara lebih mudah dari penerapan memanglah benar adanya. Jadi untuk kali ini, jika aku boleh memberi nasehat, tolong berhentilah menjadi motivator kalau kalian sendiri tak tahu bagaimana penerapannya.
Masalahku sebenarnya bukan hanya Thalia. Karena Ken masih menjadi sumber utama kekisruhan hati yang kurasakan saat ini.
Aku membencinya. Sungguh, sangat membencinya. Setelah kejadian dua hari yang lalu, Ken menutup rapat bibirnya, seolah tengah melakukan mogok bicara padaku. Dan aku dengan sikap dingin yang berhasil kubangun, membiarkan dia berdiri dengan egonya. Aku tak berusaha menyapanya, tak juga mencoba membangun komunikasi dengannya.
Dia diam dan aku bungkam.
Sederhana saja, jika dia tetap mempertahankan sikap kutubnya yang tak tersentuh. Maka jangan salahkan aku jika aku pun memilih menjadi salju abadi. Dan setelah itu, biarkan kami membeku secara bersamaan.
Dering ponsel kembali menghentikan langkahku yang telah bersiap untuk berendam dalam bath-up besar. Aku sudah membayangkan untuk menenggelamkan diriku bersama banyak busa dengan aroma buah-buahan favoriteku. Aku sudah tidak sabar mempertemukan kulitku dengan air hangat, karena itulah yang selalu kupikirkan sepanjang hari tadi.
Menghela nafas, kulirik sekilas I'd pemanggil. Bella. Ya Tuhan, kenapa sih wanita ini selalu tahu jika aku tak ada dalam acara kumpul-kumpul yang mereka adakan?
Aku menggelengkan kepala, mengabaikan dering ponselku. Dan aku memutuskan untuk segera menuju kamar mandi.
.
.
.
.
.Aku masih ingat jam berapa aku tiba di apartment tadi. Jam berapa aku mulai mencelupkan diriku kedalam busa. Ini sudah hampir setengah jam aku berendam dan artinya masih jam enam sore. Masih ada waktu untuk memasak sebelum Ken pulang nanti. Atau bahkan aku tak usah repot-repot memasak, toh Ken sedang bersama Thalia. Mereka pasti memilih makan di luar. Di rumah orang tua Ken mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
PASSION TEARS
RomanceKeanu Abraham, memendam perih di balik sikap dinginnya. Membuang perasaan lembut yang dimilikinya untuk wanita yang ia kasihi. Kirana, tak lagi di anggapnya sebagai Alifia. Kematian adik kandungnya, membuat kekecewaan pada sang wanita berubah cepat...