Aku percaya suatu saat nanti Tuhan akan memberi bahagia padaku. Aku meyakini akan datang hari dimana aku akan tersenyum lebar menyambut mentari. Aku tahu, bahwa hariku akan tiba. Bahkan jika kehidupanku disini tak juga mampu memberi kebahagiaan bagiku, aku masih mempercayai Tuhan akan memberikan kebahagiaan hakiki untuk diriku kelak di akhirat.
Andai dunia ini seperti buatan para sutradara Hollywood, maka aku menjamin akan ada sebuah merpati pos khusus yang akan menyampaikan berpucuk-pucuk surat kita untuk Tuhan.
Oh, lihatkan, aku mulai gila sekarang?
Mengerang, untuk kebodohanku kali ini. Aku menghempaskan kepalaku pada sandaran kursi kayu. Duduk berselonjor kaki, menikmati dingin langit malam hanya dengan selembar sutra tipis tanpa kehangatan.
Tanganku bergerak meraih gelas berisi Wine yang kutemukan di mini bar. Milik Ken memang, namun apa peduliku.
Aku masih memikirkan perkataan ibuku sore tadi. Masih marah dan tersinggung karena ia berani mengusik dan mencampuri hidup yang kupilih. Marah karena apa yang ia katakan benar-benar apa yang kualami. Aku membenci Ken, namun aku sangat membenci diriku saat ini. Karena seperti kata ibuku tadi, aku terlena dengan perasaan yang kubiarkan mengalir untuk Ken.
Jujur saja aku lelah pada semuanya. Lelah pada instingku yang lagi-lagi kembali merasakan kehadirannya. Lelah pada degup jantung yang berdegup gila kala mendengar langkah kakinya yang bergerak di ujung ruangan.
Oh sialan, akhirnya kau kembali!!
"Kupikir terlalu larut untuk menikmati angin dingin seperti ini?"
Darahku beriak penuh sukacita, tubuh sialanku kembali menghianati egoku. Terbukti dengan secepat kilatnya kepala memutar demi mendapati sosok pemilik sang suara.
Dan mataku menemukannya. Menemukan apa yang memang ingin segera kulahap. Dia tengah sibuk membuka kancing-kancing kecil kemejanya. Melirikku dengan pandangan geli, mungkin setelah melihat reaksiku yang terlalu spontan ketika mendengar suaranya. Apapun itu aku tak peduli.
Aku perlu memuaskan mataku dengan menatapnya tanpa teralih. Melihat bagaimana wajah dingin itu membentuk sedikit sudut geli diujung bibirnya. Matanya melihatku dengan jenaka. Sementara alisnya bergerak akibat gerakan dari otot rahangnya.
Ken tersenyum.
Demi Tuhan, aku sangat jarang melihatnya tersenyum seperti sekarang ini. Aku ingin membalas simpul senyuman itu, namun otakku memiliki alarm pengingat. Ia berdenting sebelum aku sempat melebarkan sudut-sudut bibirku. Mereka berteriak dalam kepalaku. Mengambil alih kesadaranku.
Kau tak boleh terlihat mudah, Kirana!! Dentang alarm itu bersamaan.
Dan bersama dengan pengendalian diri yang berhasil kuraih kembali. Aku segera memalingkan wajahku. Meringis kala batinku malah menjerit menolak untuk memalingkan wajahnya. Oh sialan, batin ini!!
"Sensitif eh?" Ledeknya sambil menyenggol bahuku dengan sengaja ketika ia berjalan menuju pembatas balkon.
Dan aku mengerang melihat punggung tegapnya yang terbentang di depan mataku. Masih mengenakan kemeja memang, namun aku tahu apa yang berada di balik kemeja putihnya yang setengah terbuka.
"Tidak mau berbicara denganku?" Ia berbalik dengan kedua tangan tersemat di atas dada. Aku menatapnya kala ia pun menatapku. Baru menyadari kalau saat ini ia bertelanjang kaki. Dan perlu sekali kukatakan, melihat seorang pria bertelanjang kaki merupakan bentuk keseksian yang lain.
Ya itu pendapatku. Tidak tahu untuk yang lain.
Melengos dari tatapannya, aku menghela nafas dan meraih gelas kaca berkaki panjang tepat di samping kanan. Meneguk sedikit sisa cairan di dalamnya, aku menyadari Ken sama sekali tak berhenti menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PASSION TEARS
RomanceKeanu Abraham, memendam perih di balik sikap dinginnya. Membuang perasaan lembut yang dimilikinya untuk wanita yang ia kasihi. Kirana, tak lagi di anggapnya sebagai Alifia. Kematian adik kandungnya, membuat kekecewaan pada sang wanita berubah cepat...