Kirana to Ken :
"Aku tak pernah memintamu untuk menuruti semua mau ku. Tapi sesekali tolong, mengertilah perasaanku."***
Bagiku, kelemahan terbesar adalah tawa. Kenapa seperti itu? Sebab dalam duniaku, tawa bagai semilir angin yang membawa pertanda bahwa hujan deras akan segera tiba.
Sama seperti senyum bahagia yang kupancarkan saat pesta pernikahan ibuku beberapa waktu yang lalu. Aku tahu bahwa bahagia dan diriku bukanlah teman baik. Seolah kami adalah api dalam sekam yang akan saling membakar ketika yang lain tengah terlena.
Aku tahu ada yang tak beres dengan tubuhku. Bahkan semakin aneh di setiap harinya. Dan aku sangat yakin Ken juga menyadari keanehan diriku. Namun kami berdua memilih bungkam. Aku diam tanpa keluhan. Dan Ken sunyi tanpa pertanyaan.
Kami berdua manusia dewasa dengan pemikiran terbuka. Dan aku, juga bukan gadis naif yang menerka-nerka kondisiku. Penalaranku telah mencapai pada satu titik kesimpulan kala diriku tak mendapatkan seminggu sensitifku di akhir bulan ini.
Dan tolong, hilangkan pikiran jika mungkin saja siklus menstruasiku sedang mengalami keterlambatan. Seperti yang selalu di utarakan oleh para gadis naif dalam novel-novel remaja.
Faktanya, jika kau perempuan yang memiliki rahim dan pernah bahkan sering berhubungan intim dengan pria, baik itu kekasih atau orang yang kau temui di pinggir jalan. Maka kau pasti memiliki insting yang lebih peka dari pendeteksi alat gempa sekalipun. Dan ya, itu terjadi padaku.
Ku beritahu, jangan percaya kontrasespsi jika kau tahu alat itu adalah buatan manusia. Secanggih atau semutakhir apapun alat itu, jika kau masih percaya adanya Tuhan, maka yakinlah tak ada yang tak mungkin terjadi.
Jadi saranku, jika kau tak ingin sesuatu tumbuh di dalam rahimmu, tolong hindari penis lelaki.
Ya Tuhan, tidakkah kalian melihatku sebagai seorang penceramah sekarang? Jika iya, cepat hentikan tawa kalian untukku. Sungguh itu amat mengganggu.
Jadi kita kembali kepada hidupku.
Aku masih bergelung seperti janin di atas ranjang saat Ken keluar dari kamar mandi dengan selembar handuk yang melingkari pinggulnya yang seksi. Jika biasanya aku akan menatapnya dengan penuh liur, maka sudah beberapa hari ini justru aku ingin mengabaikan keberadaannya.
Ia tak mengatakan apapun sejak aku mulai rutin berlari ke kamar mandi setiap kali kami sarapan bersama. Atau ketika aku buru-buru menutup hidung saat dengan tak sengaja kami berpapasan di kantor. Ken cukup pintar untuk mengerti dan begitu juga dengan diriku. Namun kami berdua tetap membisu. Seakan tenggelam dengan pemikiran dan ketakutan lain jika kami nekat untuk membicarakan hal ini.
"Tidak usah ke kantor hari ini." Katanya dingin sembari membuka pintu lemari pakaian.
Semenjak kondisi tak menentu ini, aku bahkan beberapa kali absen menyiapkan pakaiannya. Dan bagai sebuah keajaiban, Ken tak mempermasalahkan semua itu. "Rasanya tidak enak." Bisikku masih betah berada di dalam selimut.
Aku jelas tidak mengomentari kegiatanku yang akan berada di rumah seharian jika aku memang tidak ke kantor hari ini. Dan aku cukup bersyukur, karena Ken tahu apa yang menurutku tidak enak.
"Aku tidak tau bagaimana menjelaskannya." Tambahku mencoba mengangkat kepala demi memandangnya. "Rasanya ... tidak enak." Sungguh aku tak bisa mengenali tubuhku kali ini. Tidak bisa mendeteksi sebenarnya dimana letak sakitnya. "Rasanya bingung, kepalaku berat, tenggorokanku tidak enak Ken, aku bingung. Rasanya aku nyaris frustasi merasakan hal ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
PASSION TEARS
RomanceKeanu Abraham, memendam perih di balik sikap dinginnya. Membuang perasaan lembut yang dimilikinya untuk wanita yang ia kasihi. Kirana, tak lagi di anggapnya sebagai Alifia. Kematian adik kandungnya, membuat kekecewaan pada sang wanita berubah cepat...