Aku cuma rindu, itu saja!

501 11 2
                                    

Kembali ku hela nafas berat di siang yang terik ini. Otakku kembali memutar moment beberapa hari lalu, saat sebuah pesan singkat yang hampir ku jadikan sebuah draft akhirnya terkirim ke tujuannya. Rasanya aku telah lupa berapa lama kami bersembunyi dalam sekat diam. Waktu yang ku habiskan untuk sekedar merindui suaranya tak lebih lama dari waktu yang ku habiskan untuk menjauh. Siapa yang bisa dengan mudahnya melupakan kenangan yang pernah di lewati? Tidak ada kan? Sama sepertiku.

Sengaja aku datang ke kota itu. Sengaja membeli es degan duren di pinggir Jl. Pattimura. Sengaja aku pergi ke alun-alun hanya sekedar membeli Pop Ice Cappucino kental dengan taburan keju diatasnya. Iya, aku sengaja mengingatnya kemarin.

Aku duduk di trotoar, aku duduk di dekat ayunan, aku duduk di menara. Konyol. Aku mengingatnya di setiap tempat itu. Meski disebelahku ada seseorang, tapi rasanya itu dia. Bodoh? Aku memang bodoh kemarin. Iseng pergi ke tempat yang pernah ku singgahi bersamanya. Ada teman-temanku disampingku, tapi jiwaku malah pergi ke waktu lain ketika aku bersamanya.

Entah apa rencana Tuhan, ketika tak sengaja mataku menangkap sosok yang terasa familiar. Dia mengenakan kaos biru muda secerah langit, menakjubkan dia berhenti di hadapanku sambil mengulurkan tangannya. Huh. Lagi-lagi tidak ada kata yang bisa ku rangkai untuk menggambarkan parasnya yang tersenyum lembut selain keren, seperti biasanya. Rambut hitamnya dibiarkan sedikit memanjang, dan tubuhnya yang tegap itu membuatku terpesona setiap kali aku melihatnya.

***

"Aku pulang dulu ya" Katanya yang terdengar segan.

"Yaelah, baru aja datang masa' iya mau pergi?" Jawabku. Aku sudah lama tidak melihatnya, lebih dari tiga tahun dan setengah jam ini tidak cukup untuk mengisi kosongnya waktu selama itu. Aku ingin lebih banyak waktu lagi.

"Tapi ini udah sore.." Lagi-lagi aku menghela nafasku. Ya, meski matahari masih enggan untuk pergi, jarum jam telah menunjukkan ke angka lima.

Dia yang awalnya duduk jauh dariku tiba-tiba duduk tepat disebelahku. Seketika dapat ku hirup aroma tubuhnya dipadu dengan wangi parfum yang selalu dipakainya bercampur dengan udara disekitarku.

"Kamu sudah ada yang punya kan?" Ucapnya sambil tersenyum. Apa lagi yang bisa ku lakukan selain tersenyum dan menggelengkan kepala perlahan. "Tapi sudah ada yang dekat denganmu kan?" lanjutnya.

"Belum. Belum ada yang bisa menggantikanmu." Jawabku dengan senyum. Seperti biasa, aku selalu menggodanya.

Dia menatapku beberapa detik kemudian pergi dari hadapanku. Dia berjalan semakin jauh, dan aku masih memperhatikan punggungnya hingga di belokan tempat parkir.

***

Aku tidak meminta apapun selain hubungan yang tetap baik. Selain kecewaku tentang dia yang akhirnya memilih temanku sejak kami mulai jauh. Berada diposisi ini pun aku sudah bahagia. Pecundang? Tidak. Aku hanya tidak ingin merusak sesuatu yang bisa memberinya bahagia seperti sekarang ini. Pengecut? Bukan. Aku hanya tidak ingin merebut sesuatu yang bukan milikku.

Menjadi teman baik mungkin cukup untuk sebagian orang, tapi tidak untukku. Aku lelah menjadi pendengar semua keluh kesah ditambah lagi dengan perjalanan cintanya. Aku bosan menjadi orang yang selalu ada ketika dia membutuhkanku, sedangkan aku hanya sebatas kopi yang tidak diinginkannya lagi ketika sudah dingin.

Jika cinta itu sesederhana memberikan segala hal yang terbaik dan tidak mengharapkan balasan, lalu seberapa banyak lagi hal yang perlu aku lakukan agar dia bisa menyadari keberadaanku?

Tapi itu dulu. Sekarang hatiku sudah tidak lagi berada di hati yang tidak dapat menyadari keberadaanku. Meski dia terlanjur menempati posisi tertinggi, bukan berarti aku tidak bisa pergi. Entah pada siapa lagi akan ku berikan tempat itu, atau mungkin tidak akan ku berikan kepada siapa pun.

Dua hari berselang setelah pertemuan kami. Katanya tatapanku membuat dia tidak nyaman. Oh ya? Aku cuma rindu, itu saja.

***

Tentang LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang