Kopi, Hujan dan Kamu

338 4 0
                                    

Kopi, Hujan dan Kamu

Hari ini, hujan mengguyur Jakarta. Langit tertutup awan hitam pekat. Aku sedang duduk manis di depan layar monitor, sesekali ku lihat tetesan air yang turun dari langit belum juga reda. Bersama secangkir kopi hitam yang tinggal setengah cangkir, keripik singkong sisa kemarin, dan lagu dari Naff - Akhirnya Ku Menemukanmu yang terdengar dari speaker aktif yang tersambung dengan komputerku.


Akhirnya ku menemukanmu

Saat hati ini mulai meragu

Akhirnya ku menemukanmu

Saat raga ini ingin berlabuh


Entah berapa kali lagu itu berputar di media player, sejak sejam yang lalu hanya lagu itu yang ada tracklistnya. Sederhana. Berisi tentang harapan seseorang pada orang yang telah diyakininya.

Lalu pikiranku langsung tertuju pada gadis itu. Sosok yang diam-diam ku kagumi dan ku perhatikan akhir-akhir ini. Gadis yang memenuhi isi kepalaku sejak awal musim hujan tahun lalu. Gadis dengan lesung pipi dan mata sipit serta segaris senyum manis yang terukir indah diwajahnya.

Aku masih ingat dengan jelas, kapan dan dimana aku kebetulan bertemu dengannya. Benarkah hanya sebuah kebetulan? Ku rasa tidak. Takdir yang memberi jalan untuk kami bertemu di sebuah kedai kopi yang letaknya tak jauh dari stasiun di pusat kota.

Dengan memakai cardigan warna biru langit, dia duduk menghadap pintu. Secangkir cappuccino hangat dan cheese cake yang belum disentuhnya, dengan setia menemaninya yang sedang sibuk dengan gadget yang ada di tanganya. Sepertinya dia cemas. Terlihat dari kerutan yang tergurat di keningnya. Sesekali ia melihat kearah luar yang saat itu memang sedang hujan deras. Andai dia tahu, wajahnya terlihat lucu saat itu.

Sial! Aku mengumpat pada diriku sendiri, entah kenapa tiba-tiba dia yang sedari tadi asyik sendiri dengan gadgetnya tiba-tiba melihat ke arahku. Bisakah kalian bayangkan, wajahku yang memerah seperti udang rebus yang berada dalam mangkuk mie seafood? Ditambah lagi dengan senyum dan beberapa helai rambutnya yang tertiup kipas yang berada di atasnya. Seketika ku tundukkan kepalaku dan menyeruput kopi di mejaku yang sudah mulai dingin.

Bodoh. Itulah diriku saat itu. Harusnya aku menghampirinya lalu menanyakan siapa namanya. Dengan obrolan ringan, harusnya aku bisa mendapatkan id-linenya. Harusnya aku menemaninya membunuh cemas dan sepinya ketika sendirian menunggu teman-temannya di kedai. Seharusnya itulah yang terjadi. Tapi aku terlalu pengecut dan tidak berani berkenalan dengannya.

Seminggu kemudian di tempat yang sama, aku berani menyapanya. Tangan kami saling berjabat, kami saling menyebutkan nama masing-masing, aku tersenyum padanya, dan dia membalasnya dengan senyum yang sangat manis. Aku tidak bisa mendeskripsikan seberapa manis senyumnya saat itu, apakah kalian tahu cerita tentang sungai madu yang ada di surga? Mungkin manisnya akan seperti itu.

Namanya Beby. Bisa ku ingat saat dia menjelaskan satu per satu huruf untuk merangkai namanya dengan benar.

"Ingat ya, namaku Beby. B-E-B-Y" Dia mulai mengeja satu per satu huruf dalam namanya.

"Ada huruf E dan Y dan itu tidak boleh diganti dengan huruf A dan I." Lanjutnya. Dan aku hanya tertawa.

"Hei Beb, aku bukan orang bodoh. Hanya sekedar mengingat huruf dalam rangkaian namamu saja aku bisa." Ucapku dalam hati sambil tersenyum.

Obrolan kami berlanjut sampai hari ini. Beby sekarang menjadi partnerku berburu ide dan menikmati kopi. Bicara tentang kopi, kami sama-sama menyukainya tapi kami memiliki perbedaan tentang kopi. Dia menyukai cappuccino. Apalagi jika busa lembutnya menempel di bibirnya setelah ia menyeruputnya, kemudian dia akan berkata "Perfecto" sambil nyengir kuda. Katanya hidup sudah terlalu keras, karena itu dia menyukai buih cappuccino yang lembut. Lalu aku, penikmat kopi dengan setengah sendok gula. Karena aku lebih suka menikmati kopi tanpa campuran susu dan krimmer, apalagi dengan buih-buih lembut bergambar hati. Tapi tak jarang, Beby memesan kopi yang sama seperti yang ku pesan.

Tentang LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang