Selamat membaca!
Semoga suka❤
乂❤‿❤乂乂❤‿❤乂乂❤‿❤乂
Aku terkejut ketika Kafka datang kerumahku kemarin malam, lebih terkejutnya lagi dia memintaku untuk menjadi mak comblang-nya! Aaaa, seseorang tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Dan kenapa dengan bodohnya aku menganggukkan kepala saat dia dengan tampang innocent-nya memohon kepadaku agar aku bisa membantunya untuk lebih dekat dengan Reynaaaa........
Dan disinilah aku, melamun sambil menatap lukisan Kafka yang kulukis malam itu. Aku tatap wajahnya yang sedang tersenyum dalam lukisanku, andai aku bisa melihat senyum itu setiap saat. Andai aku bisa memiliki senyum itu.Ponselku berdering terus menerus sedari tadi, namun seperti setengah jam yang lalu... aku mengabaikannya... bagaimana mungkin aku mau mengangkatnya kalau orang yang sedari tadi menelponku itu Kafka?
Belajar untuk melupakannya saja sulit, apalagi belajar untuk bersikap baik-baik saja dihadapannya? Apa hanya aku didunia ini yang menjadi mak comblang untuk orang yang dicintai?
Tiba-tiba ponselku berdering kembali, Reyna? Reyna menelpon untuk apa? Aku segera mengangkatnya tanpa berpikir panjang.
"Halo Rey..."
"Chaca, masa Kafka nyariin lo."ucap Reyna terdengar kesal. Hah?
"Ngapain dia nyariin gue?"
"Gak tau deh, katanya lo disuruh angkat telponnya."ucapnya lagi dengan nada yang ketus. Apakah Reyna cemburu?
"Lo cemburu?"godaku sambil tersenyum miris.
"Lo udah tau jawabannya kan tanpa perlu gue jawab?"
"Hahaha, gak perlu cemburu gitu sama gue. Gak mungkin juga Kafka ada rasa sama gue."
"Gue takut aja..."ucap Reyna pelan.
"Udah jangan berpikir yang enggak-enggak, lebih baik lo tentuin aja tuh hati lo memilih siapa."
"Hsh.. yaudah, tapi inget ya... jangan sampe lo suka sama Kafka."ucapnya tegas.
Aku menghela napas pelan, "Iya...."ucapku pelan sangat pelan kurasa. Ya, aku tidak boleh suka sama Kafka, ups maksudku... aku tidak boleh jatuh cinta sama Kafka.
Begitu aku mematikan sambungan telepon, aku langsung menyalakan laptopku. Aku lupa kalau aku harus segera meng-edit beberapa artikel yang masuk untuk majalah kampus. Begitu aku baru membaca judul artikel, ponselku kembali berdering.
Kafka.
"Halo..."ucapku membuka suara.
"Cha, lo marah sama gue?"tanya Kafka dengan suara was-was.
"Buat apa gue marah sama lo?"
"Ya mungkin karena gue minta lo buat jadi mak comblang gue?"
"Haha, nyantai aja kali sama gue."ucapku sambil tertawa miris.
"Jadi gimana, kapan lo mau deketin gue sama Reyna?"
"Bukannya selama ini lo juga udah deket sama dia? Kayaknya tanpa perlu bantuan gue kalian juga udah tau perasaan kalian masing-masing."ucapku sambil mengelus dadaku, menahan nyeri yang seakan menusuk dadaku.
"Tapi gue harus meyakinkan semuanya dulu, baru deh kalau udah saatnya... gue bakal nyatain cinta gue ke dia..."ucapnya lembut. Andai aja dia tau perasaanku hanya untuknya seorang, andai aja dia tau kalau dia telah menyakiti hatiku dengan semua perkataannya barusan.
"Kafka, lo tau gak kalo semua yang tadi lo bilang bikin hati gue sakit..."ucapku tanpa sadar.
"Hah? Ma-maksudnya?"tanya Kafka kaget, akupun langsung tersadar dan segera mematikan sambungan telepon.
Aku panik dan segera me-non aktifkan ponselku. Aku bingung kenapa aku bisa keceplosan?! Aishhhh, kenapa aku bisa bertindak bodoh seperti tadi?! Kalau sudah begini, aku harus bagaimana? Muka-ku harus ditaruh dimana?!
Aku segera mematikan laptopku, bagaimana aku bisa meng-edit artikel ketika suasana hatiku menjadi buruk seperti ini. Aku segera mengambil wudhu untuk segera menunaikan ibadah sholat Ashar, ingin menenangkan hatiku dengan bersimpuh dihadapan-Nya.
Begitu aku selesai menunaikan ibadah sholat Ashar, aku segera kembali berkutat di depan laptop, aku dikerjar deadline sebagai seorang editor. Aku harus segera meng-edit artikel yang masuk ke email-ku untuk segera di edit sebelum masuk majalah.
Kurang lebih sekitar satu jam aku meng-edit artikel, lalu aku segera mematikan laptopku dan beranjak mandi. Aku harus menyegarkan tubuh dan juga pikiranku. Aku memilih berendam didalam bathtub selama lima belas menit, lalu segera membilasnya dengan air dingin agar pikiranku bisa jernih kembali. Setelahnya, aku segera memakai baju hangat dan celana panjang longgar yang sering kupakai ketika berada dirumah. Ya ya ya, aku persis seperti mama... sangat suka memakai baju hangat.
Teng...tong...teng...tong...
Aku segera menuruni tangga dengan handuk yang masih melilit rambutku. Aku terkejut begitu mendapati Kafka yang berada di hadapanku saat ini. Kafka?!
"Masuk dulu, Kafka."ucapku pelan. Dia mengikutiku masuk menuju ruang tamu.
"Cha, maksud ucapan lo tadi apa?"tanyanya penasaran dan tak lupa dengan mimik wajah serius.
"Hah? Yang mana?"tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Yang tadi itu...."ucap Kafka pelan.
"Yang mana?"
"Yang.... 'Kafka, lo tau gak kalo semua yang tadi lo bilang bikin hati gue sakit...'"ucapnya mengulang ucapanku tadi. Tubuhku menegang begitu dia masih mengingat jelas perkataanku ditelepon tadi.
"Lo salah denger kali hehe.."kilahku.
"Tapi kenapa lo langsung matiin telponnya?"
"Ponsel gue low tadi hehe."
"Ohgitu, bagus deh kalo gitu hehe..."ucapnya kikuk.
Apa dia senang kalau aku tidak memiliki perasaan apapun untuknya? Apa dia tidak suka kalau aku memiliki perasaan untuknya? Aku segera mengalihkan pembicaraan.
"Kafka, lo serius sama Reyna?"tanyaku pelan.
"Iya, jadi gimana.... lo mau gak jadi mak comblang gue?"
Aku mengangguk pelan, "Iya... asal kalian berdua bahagia."
BULLSHIT!
"Thank you, Cacha!"ucapnya dengan senang. Ternyata senyum kamu memang cuma untuknya...
Aku sudah mengirimi sebuah pesan di LINE pada Reyna agar ia datang ke café tempat biasa kita ngalor ngidul untuk melepas rindu. Aku sudah memesan tempat untuk Reyna dan Kafka. Mereka pasti bisa bersatu dan mungkin Reyna tidak akan bingung lagi untuk memilih antara Raka atau Kafka karena kuyakin setelah ini dan seterusnya hati Reyna hanya terpaku untuk Kafka.
Kulihat Reyna memasuki café dengan senyum yang terpatri diwajahnya, ya dia sahabatku yang baik dan juga sangat cantik. Aku tersenyum miris, beginilah nasib punya sahabat cantik yang kalau kemana-mana mata pria hanya tertuju pada dirinya, sedangkan aku mungkin tak terlihat di mata kaum pria ketika sedang bersama Reyna. Aku mah apa atuh, hanya butiran debu.
Tidak lama kemudian, sosok Kafka muncul setelah Reyna sudah duduk di tempat biasa. Aku harus bisa mengikhlaskannya, memang Reyna hanya untuk Kafka. Kulihat Kafka menghampiri Reyna dan Reyna tersenyum manis begitu Kafka duduk dihadapannya. Aku segera mengirimi pesan kepada Reyna.
Rey sorry gue gak bisa dateng, gue baru dikabarin kalau ada artikel tambahan yang harus gue edit sore ini juga. Sorry ya Rey.
Aku kembali menatap kedalam café melalu jendela yang terlihat dari luar. Kulihat Reyna sedang asik berbincang hingga tak menyadari kalau ponselnya berdering, dia tidak membuka pesan dariku. Apa aku memang pantas diacuhkan? Kulihat Kafka tersenyum sungguh manis begitu melihat tawa Reyna, apa aku tidak berhak mendapatkan senyum itu, Kafka?
Sebaiknya aku harus pergi dari sini sebelum air mataku jatuh dari pelupuk mataku dan sebelum hatiku benar-benar hancur tak bersisa. Aku harus bisa merelakannya, aku harus bisa...
Aku segera berbalik badan dan tertegun begitu melihat seseorang yang berada dihadapanku saat ini. Kevin. Namun aku segera menghindar dan berjalan cepat menghindari dirinya. Aku tidak ingin dia melihatku menangis, aku tidak ingin dia menjadi pahlawanku... aku tidak pantas untuk dicintai oleh dirinya yang tak pernah mendapatkan balasan dariku... aku harus secepatnya pergi dari sini. Begitu aku sudah ingin menyetop taksi, Kevin mencekal tanganku dan menarikku untuk mengikuti langkahnya yang panjang.
"Kev, lepas ih!"ucapku sambil meronta.
"Gak akan, aku gak akan lepasin kamu!"ucap Kevin masih terus menarik tanganku hingga kami sampai di sebuah taman. Dia menyuruhku duduk diatas ayunan, dia bersimpuh dihadapanku.
"Aku tau apa yang kamu rasain."ucap Kevin pelan sambil menyelami kedua bola mataku. Tatapannya hanya tertuju pada kedua bola mataku. Tatapan yang sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah kecuali perasaannya yang semakin bertambah terhadapku.
"Kamu gak tau, Kev..."lirihku pelan.
"Kamu suka sama dia?"tanya Kevin sambil menyentuh kedua wajahku dengan jemarinya.
"Siapa yang kamu maksud, Kev?"
"Kafka. Kamu suka sama dia?"
Aku menggeleng cepat, "Eng-enggak!"ucapku gugup.
Kevin tertawa pelan, "Kamu tidak pandai berbohong, Cha."ucapnya sambil menarikku kedalam pelukannya. Pelukannya hangat. Apa rasanya seperti ini bila dipeluk dengan seseorang yang mencintai kita?
"Kev, lepas."ucapku sambil mendorong tubuhnya menjauh dariku. Dia tidak mendengarkan perkataanku dan tetap memelukku dengan seluruh jiwa raganya.
"Biarkan aku peluk kamu sebentar aja..."ucapnya memohon. Lalu aku membiarkannya memelukku dengan erat. Hangat, aku merasakan kehangatannya ketika dia memelukku erat seperti ini.
"Cha, apa kamu beneran suka sama dia?"tanya Kevin pelan.
Aku mengangguk pelan, "I-iya... tapi semuanya udah gak mungkin lagi."ucapku sambil terisak. Akhirnya aku jujur juga, seharusnya aku tidak boleh berkata yang sejujurnya dihadapan Kevin... tapi aku sudah tidak bisa memendamnya sendirian. Aku sesak.
"Semuanya mungkin kalau kamu mau jujur dengan perasaan kamu sendiri."ucap Kevin sambil mengusap kepalaku lembut.
"Kev, aku gak mungkin merebut kebahagiaan Reyna..."
"Tapi aku tau, kalau perasaan kamu ke Kafka lebih besar ketimbang perasaan Reyna untuk Kafka..."ucapnya sambil melepas pelukannya.
"Jangan sok tau, Kev. Memangnya siapa yang tau hati orang?"tanyaku sambil menjitak kepalanya pelan. Aku tidak ingin terlihat cengeng di hadapan Kevin. Aku segera menghapus air mataku dan tersenyum tipis. Kevin tertawa dan mengacak-acak rambutku pelan.
"Tapi kamu tau kan hati aku buat siapa?"tanyanya sambil menaik turunkan alisnya. Aku tertawa pelan. Dia selalu bisa membuatku melupakan rasa sedihku, ya walaupun sedikit.
"Gak tau tuh."ucapku berbohong.
Kulihat dia mencibir kesal, "Hati aku cuma buat kamu, Cha."ucapnya sambil menatap kedua bola mataku. Aku mengalihkan tatapanku ke arah lain.
"Dih gombal terus, capek dengernya."ucapku sambil mengerucutkan bibir kesal.
"Beli es krim yuk?"ajak Kevin sambil menarikku agar berdiri.
Aku menganggukan kepala dengan semangat, "Yuk!"
Kamipun berjalan bersisian menuju kedai es krim yang letaknya tak jauh dengan café yang sering kukunjungi bersama Reyna.
"Aku mau yang rasa coklat."ucapku pada Kevin. Kevin pun segera memesan satu es krim chocolate dan satu es krim mint kesukaannya.
"Es krim coklat untuk tuan putri...."ucapnya sambil menyodorkan es krim coklat ke arahku.
Aku tertawa lalu segera mengambil es krim coklat dari tangannya, "Makasih."
Kevin pun duduk disebelahku sambil menjilat es krim mint yang membuatku jadi ingin mencicipinya, sepertinya enak...
"Kenapa liatin aku terus? Apakah tuan putri sudah terpesona denganku?"tanyanya sambil mengedipkan satu matanya, menggodaku.
"Ih ge-er. Orang aku lagi liatin es krim kamu!"ucapku sambil memukul lengannya pelan. Dia pun hanya pasrah menerima pukulanku. Lalu tiba-tiba dia menyodorkan es krimnya ke hadapanku, "Kamu mau?"
Aku diam, mau tapi malu, "I-iya, boleh ya minta sedikit?"
Dia pun segera menyuapi es krim mint kedalam mulutku. Belum juga aku mencecapi rasanya, dia sudah menyuapiku lagi lagi dan lagi. Dasar Kevin!
"Kevin, stop! Belepotan nih!"ucapku sambil menutup mulutku agar dia berhenti menyuapiku. Dia pun tertawa begitu melihat mulutku penuh dengan es krim, emangnya aku badut apa?!
Kevin segera menyeka mulutku dengan ibu jarinya, aku hanya diam akan perlakuannya. Kutatap matanya, dia terlihat tulus... apa aku harus membuka hatiku untuknya?
"Kamu tetep cantik walaupun belepotan."ucapnya sambil terus menyeka bibirku yang penuh dengan es krim. Aku hanya diam.
"Cha!"duh gawat, itu kan suara Reyna... begitu aku menoleh kulihat Kafka dan Reyna sudah berada di belakangku.
"Lo bilang lagi sibuk edit artikel, eh taunya lagi asik berduaan sama Kevin!"ucap Reyna sambil melipat kedua tangannya didepan dada. Aku langsung menggenggam tangan Kevin, meminta bantuan.
"Jangan marah-marah sama Chaca, dia sebenernya emang lagi sibuk tapi gue maksa dia buat nemenin gue jalan."ucap Kevin pada Reyna sambil mengelus tanganku yang berada dalam genggaman tangannya.
"Gue kan udah minta maaf, Rey. Lagipula juga udah ada Kafka kan yang nemenin lo?"tanyaku sambil melemparkan tatapanku pada Kafka. Reyna tersenyum salah tingkah.
"I-iya sih..."ucap Reyna sambil menggaruk tengkuknya.
"Hm, jalan bareng yuk?!"ajak Kevin sambil tersenyum senang.
Aku menggelengkan kepala, "Aku mau pulang, Kev."ucapku pelan.
"Ayolah, Cha!"ajak Reyna seakan lupa bahwa tadi ia marah padaku.
Aku menganggukan kepala dengan malas, "Yaudah."
Aku berjalan disamping Kevin, mencari perlindungan. Kevin tiba-tiba menggenggam tanganku seakan kami berpacaran.
"Cha, lo sama Kevin pacaran ya?"tanya Reyna sambil melirik tanganku yang berada dalam genggaman Kevin.
Aku menggeleng pelan, "Gak kok."
"Tapi itu..."ucap Reyna sambil menunjuk tanganku yang masih digenggam oleh Kevin.
Aku segera melepaskan tangan Kevin tapi ia malah mengeratkan genggamannya. Aku kesal, "Kev, lepas ih!"
Dia pura-pura sibuk berbincang dengan Kafka, menyebalkan!
Kami pun duduk di taman berempat, Reyna-Kafka-Aku-Kevin.
"Cha, thanks ya udah bantuin gue."bisik Kafka pelan, aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Gue beli minum dulu ya."ucapku pada mereka bertiga. Lalu Kevin malah ikut berdiri dan mengikutiku meninggalkan mereka berdua.
"Kamu sengaja menghindar dari mereka?"tanyanya sambil menatapku penasaran.
"Iya, biarin mereka berdua. Biar aku gak perlu comblangin mereka lagi."ucapku sambil menunduk menatap jalanan yang kupijaki.
"Kamu baik-baik aja?"tanyanya sambil merangkul pundakku.
"I'll be alright."ucapku sambil berusaha tersenyum. Kevin tiba-tiba menarik tubuhku agar menghadap dirinya.
"Cha, aku sayang kamu dan aku gak mau liat kamu sedih kayak gini."ucap Kevin pelan.
"Kev, aku baik-baik aja."ucapku sambil memaksakan senyum.
"Cha, apasih yang kamu liat dari Kafka?"tanyanya sambil meletakkan kedua tangannya dipundakku.
"Maksud kamu?"
"Apa yang bikin kamu suka sama dia?"
"Sifat dia mungkin."
"Itu aja?"
"Iya... emangnya kenapa?"
"Aku akan berubah seperti dia."ucapnya bersungguh-sungguh.
"Kamu gak akan bisa seperti dia. Dia itu orangnya ulet, gak pernah menyerah dan pastinya rajin belajar!"ucapku sambil menjitak kepalanya.
"Aku bisa lakuin semua itu, yang penting aku bisa dapetin kamu!"ucapnya, lalu mengecup keningku lama.
"I love you, Cha... kamu gak perlu meragukan cinta aku ke kamu..."bisiknya setelah mencium keningku. Aku hanya bisa diam, tidak tau harus berbuat apa. Andai Kafka yang bilang seperti itu..... tapi apalah daya kalau aku hanya seorang mak comblang-nya untuk mendapatkan pujaan hatinya, Reyna.
乂❤‿❤乂乂❤‿❤乂乂❤‿❤乂
Tadaaaaa! Jangan lupa vote(klik bintang) dan juga comment-nya ya!
Silent readers jangan ngumpet aja dong hiks....
Kalo masih dikit yg vomment... Ah yasudahlah :-----)
Ps: dimulmed ada foto Cacha❤
(Sketch Kafka aka Sehun by Audrey829SJ - DeviantArt *google*)
YOU ARE READING
Antara Aku, Kau dan Dia
Teen FictionKafka, lelaki yang kucintai sejak duduk di bangku sekolah mencintai sahabatku. Aku harus mengubur perasaanku dalam-dalam. . Kevin, lelaki yang dulu dikenal dengan julukan 'bad boy'. Kini sudah menjadi lelaki yang berbeda 360 derajat dari sejak terak...