Happy Reading😊
***
#CACHA POV
Aku bimbang harus berkata apa mengenai pertanyaannya yang memintaku untuk memberikan kesempatan kedua untuknya. Aku mencintainya, tentu. Aku masih menginginkannya disisiku, tentu. Tapi… apa cinta aja cukup untuk hubungan ini kedepannya? Aku takut dia akan melakukan hal yang sama lagi nantinya.
“A-aku….”
“Besok aku udah harus balik lagi ke Jepang. Jadi, aku tidak bisa menunggu jawaban kamu kecuali sekarang…”ucapnya sambil menarik tanganku untuk ia genggam.
“A-aku...”
“Ka-kamu masih pake cincin dari aku, Cha?!”tanyanya tiba-tiba sambil mengelus cincin yang melingkar di jari manisku. Aku makin tergagap, aku lupa kalau aku masih memakai cincin pemberian darinya. Aku segera menarik tanganku darinya dan berusaha menutupi cincin yang masih melekat di jari manisku.
Ia menghela nafas lalu menarik kembali tanganku untuk ia genggam, “Kamu lepas cincin ini kalau kamu ingin aku berhenti memperjuangkan kamu. Dan kamu cium cincin ini kalau kamu ingin aku untuk terus memperjuangkan kamu...”
“Ma-maksud kamu, aku gak boleh lagi pake cincin ini kalau aku minta kamu untuk berhenti perjuangin cinta kamu ke aku?”
Kevin tertegun begitu mendengar perkataanku barusan, “ma-maksud kamu… kamu minta aku buat berhenti untuk memperjuangkan cinta kita?!”
Aku menunduk, “Bu-bukan gitu maksud a-aku...”
“Lalu apa, Cha? Aku tau kalo perbuatanku ke kamu waktu itu tuh emang brengsek! Ta-tapi aku menyesal dan ingin memperbaiki hubungan kita. Aku juga gak bisa berhenti mikirin kamu waktu aku disana! I’m feeling so guilty…”ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya frustrasi.
Aku menggigit bibirku sambil berusaha memantapkan hatiku bahwa keputusanku sudah bulat, “A-aku minta maaf… tapi lebih baik kamu berhenti untuk memperjuangkan cinta kita. It won’t work for us. Dari awal memang sudah salah…”
“Salah dimananya, Cha?”tanyanya masih tidak bisa terima dengan keputusanku.
“Aku yang salah. Awalnya memang aku menerima kamu karena aku berniat ingin melupakan Kafka. Walau semakin lama aku menikmati hubungan kita. Kamu yang sayang aku, membuat aku juga mulai sayang sama kamu. Tapi ketika kamu pergi ninggalin aku gitu aja. Aku rasa kita butuh berpikir lagi mengenai hubungan kita ini. Dan untuk saat ini, keputusan yang kuambil sepertinya sudah tepat.”
Dia menatap mataku dalam, lalu mengusap cincin yang masih melingkar di jari manisku. Lalu dia menyalakan mesin mobilnya menuju rumahku. Selama perjalanan, tidak ada yang mau membuka suara terlebih dulu. Aku terus menerus menatap keluar jendela dan berharap bahwa perjalanan ini memakan waktu yang lama. Entahlah, aku masih ingin berada di dekatnya sekarang. Aku harus menikmati saat-saat yang tersisa ini sebelum besok ia kembali ke Jepang dan mungkin akan menemukan seorang yang akan menggantikanku dihatinya. Aku harap dia bahagia…
Entah kenapa memikirkan dia akan bersama perempuan lain membuat dadaku rasanya sesak. Tapi, aku harus membiarkannya bahagia. Aku tidak ingin dia terus memperjuangkan cintanya padaku. Padaku yang tidak pernah bisa membuatnya bahagia. Padaku yang selalu membuatnya bersedih. Aku tidak boleh egois. Untuk sekarang kamu memang akan merasa kecewa denganku, Kev. Tapi aku yakin, begitu kamu menemukan kebahagiaan kamu dengan perempuan lain… kamu akan berterima kasih padaku karena telah melepasmu untuk perempuan yang jauh lebih baik dariku. Aku yakin kamu akan menemukan perempuan yang bisa mencintai kamu melebihi cintaku ke kamu.
“Sudah sampai, Cha…”ucapnya menyadarkanku dari lamunan.
Sebelum aku turun dari mobilnya, aku melepas cincin yang sudah menemaniku selama ini. Menemaniku ketika aku merindukan lelaki yang sedang menatapku saat ini. Aku menarik tangannya untuk mengembalikan cincin pemberiannya.
Aku memasang senyum palsu, “Ini aku kembalikan ke kamu… aku tidak pantas memakainya. Berikan cincin ini untuk perempuan yang kamu cintai nantinya… semoga kamu bahagia disana. Maaf aku gak bisa ikut anter kamu ke bandara besok.”
Aku bergegas untuk keluar dari mobilnya begitu sebuah tangan menarik tubuhku untuk membalikkan badan. Dan saat ini… aku sudah berada dipelukannya. Pelukan yang akan sangat kurindukan nantinya. Kami diam untuk beberapa saat. Menikmati detak jantung kami yang saling bersahutan satu sama lain. Debaran ini masih ada. Dan akan selalu ada selamanya, Kev. Maaf karena aku mengambil keputusan ini… maaf karena dengan bodohnya, aku masih mencintai kamu. Maaf…
“Aku sayang kamu, Cha… entah kata apalagi yang harus aku ucapin ke kamu supaya kamu sadar bahwa aku cuma sayang sama kamu…”ucapnya sambil mengusap punggungku dengan sayang. Sesekali dia mengecup puncak kepalaku. Aku berusaha untuk menahan air mataku yang sedari tadi ingin menetes. Aku tidak boleh menangis di depan Kevin.
Aku melepas pelukannya dan berusaha mengabaikan perkataannya barusan. Aku mengusap pipinya pelan, “Kuliah yang bener. Jangan telat makan. Dan inget sholat. Jaga diri kamu baik-baik disana. I pray the best for you, Kev. Bye…”
Kevin menahan tanganku untuk yang kesekian kalinya, dia menatap mataku dalam.
“Sebentar, Cha… beri aku waktu tiga menit untuk memandangi wajah kamu sebelum aku pergi.”ucapnya sambil menangkup kedua pipiku dengan tangannya yang selalu memberi kehangatan bagiku.
Aku menganggukkan kepalaku dan membiarkannya memandangiku dengan intens. Aku dapat melihat sorot kesedihan di kedua bola matanya. Ya, dia hanya akan merasakan kesedihan bila bersamaku.
Aku juga memandangi wajahnya, wajah yang akan kurindukan. Hingga tiba-tiba Kevin menciumku. Aku terkejut dan segera mendorong tubuhnya menjauh. Namun dia menahan tanganku, “Aku mohon. Sekali ini aja. Untuk yang terakhir kalinya…”
Aku terkejut dan akhirnya membiarkan bibirnya kembali menciumku. Bibir yang selalu mengeluarkan gombalan-gombalan yang kadang membuatku merasa kesal namun akan kurindukan. Aku melepaskan bibirnya terlebih dahulu, “Aku turun ya. Makasih udah anter aku sampe rumah. Ingat pesan-pesanku selama kamu disana. Bye, Kev…”
---
#KEVIN POV
Aku masih memegang bibirku setelah Cacha turun dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya. Aku tidak menyangka bahwa hubunganku dengan Cacha harus berakhir seperti ini. Aku mengusap cincin yang dikembalikan Cacha… cincin yang kuberikan di hari jadi kita yang masih seumur jagung waktu itu. Dengan kalut, aku mengemudikan mobil untuk kembali ke rumah.
“Kevin, kenapa baru pulang udah jam segini?”tanya Bunda begitu aku memasuki ruang tamu.
“Aku habis jalan sama Cacha, Bun…”ucapku setelah mencium punggung tangannya.
Bunda terlihat terkejut mendengar perkataanku, “Ka-kamu abis jalan sama Cacha? Kalian udah balikan?”
Aku menggeleng lemah sambil ikut duduk disebelah Bunda, “Hubungan Kevin sama Cacha udah berakhir, Bun….”
Bunda menarik kepalaku untuk bersandar dipundaknya, “Mungkin kalian memang harus fokus kuliah dulu. Kalau sudah saatnya tiba, disaat kalian sudah meraih apa yang kalian cita-citakan. InsyaAllah, kalian akan dipersatukan kembali. Jalanin aja dulu yang ada sekarang…”
Aku memejamkan mataku perlahan, “Aku sayang dia, Bun… sayang banget Bun. Aku gak bisa bayangin melihat dia bersama laki-laki lain...”
Bunda tertawa pelan, “Kalau sayang ya seharusnya kamu perjuangin.”
“Aku udah lakuin itu, Bun. Tapi dia minta Kevin untuk berhenti perjuangin dia… Ahhh Kevin bisa gila, Bun!”
Bunda berganti untuk memelukku, “Mungkin ada maksud lain dari keputusan yang Cacha ambil untuk hubungan kalian berdua. Yang terpenting, kamu harus bisa buktikan ke dia kalau kamu bisa jadi laki-laki sukses yang pantas untuk mendampinginya nanti.”
Aku termenung mendengar perkataan Bunda, aku setuju dengan perkataan Bunda. Aku harus berjuang untuk menjadi seseorang yang pantas mendampingi Cacha nantinya. Aku memeluk Bunda erat.
“Tau gak Bun kenapa aku sayang banget sama Cacha?”
Bunda menggeleng.
“Karena Cacha itu cantik kayak Bunda.”
“Jadi cuma karena cantik aja kamu suka sama Cacha?”tanya Bunda terkejut begitu mendengar perkataanku.
Aku menggeleng, “Bukan karena itu aja, Bun. Tapi aku yakin kalau Cacha bisa jadi Ibu yang baik buat anak-anaknya nanti yaitu anak Kevin dengan Cacha. Aku yakin dia akan menjadi seorang Ibu yang hebat sama seperti Bunda.”
Bunda tertawa keras, “Kamu ini. Kuliah aja belum kelar udah ngomongin anak! Kuliah dulu yang bener! Dan buktiin ke Cacha kalau kamu pantas untuk memiliki hatinya.”
Aku mengangguk mantap, rasanya lega bisa berbagi keluh kesah dengan orang yang kita sayang.
“Makasih ya, Bun udah mau dengerin curhatan Kevin…”
“Iya sayang… sekarang kamu siap-siapin perlengkapan buat keberangkatan besok pagi gih.”
Aku mengangguk, lalu segera beranjak menuju kamarku dengan perasaan yang sedikit lebih lega. Begitu tanganku hendak membuka kenop pintu, Ardhit memanggilku. Aku membalikkan badan sambil menaikkan satu alisku, bingung.
“Gimana hubungan lo sama dia, bang?”tanyanya to the point.
“Lo tanya dia aja. Gue mau masuk dulu. Capek.”ucapku, mengabaikan dirinya yang terlihat kurang puas dengan jawabanku.
Aku segera menyandarkan diriku dibalik pintu setelah mengunci pintu kamar. Aku mengusap wajahku dengan gusar. Kejadian tadi kembali membayangi pikiranku. Argh!!!!
Beberapa pakaian sudah kumasukkan ke dalam koper kemarin malam. Entah kenapa aku sudah berpikir semuanya akan menjadi seperti ini. Tapi, aku masih berusaha untuk terus berpikir positif bahwa hubunganku dengan Cacha masih bisa diperbaiki. Walau ya… pada akhirnya ya seperti ini.
Aku berjalan dengan malas menuju kamar mandi. Ingin segera menyegarkan tubuh yang sudah berkeringat. Mungkin dengan mandi, perasaanku menjadi sedikit lebih baik. Begitu selesai mandi, aku terkejut begitu mendapati pesan dari Riri di LINE. Aku membuka pesan tersebut sambil mengeringkan rambutku dengan handuk.
Riri : Bsk pesawat jam brp? ^^
Kevin : 10 am…
Riri : Okay, take care 😚
Aku terkejut begitu membaca pesan terakhirnya. Apa-apaan dia, pake emot kiss gitu. Belum sempat jariku mengetik balasannya untuknya. Pesan darinya muncul kembali.
Riri : Ups, salah emot. Sori…
Kevin : It’s okay…
Riri : Is it okay for you? Gak ada yang jealous?
Aku mengusap wajahku dengan gusar lalu mengetikkan balasan untuknya sebelum bersiap untuk tidur. Hari ini benar-benar menguras tenaga dan juga pikiranku, sebaiknya aku cepat tidur kalau tidak mau terlambat berangkat ke bandara besok.
Kevin : Ya, it’s okay.
---
#ARDHIT POV
“Bun, tadi ngobrolin apa sama Bang Kevin?” tanyaku sambil ikut duduk disebelah Bunda yang sedang menonton berita di televisi.
Bunda menoleh sekilas, “Biasalah, soal cinta… kamu sendiri gimana? Udah ada yang ditaksir belum selama tinggal di Jakarta?”
Aku ingin mengangguk namun kuurungkan karena kuyakin Bunda akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan, “Belum ada, Bun. Ohya Bun, Bang Kevin tadi cerita apa sama Bunda?”
“’Ya biasalah, dia lagi patah hati. Dia cerita kalau mantan pacarnya gak mau diajak balikan sama dia…”
Hah? Mereka gak balikan? Kok bisa? Ini serius kan? Bukannya Cacha udah cinta banget sama Bang Kevin? Ta-tapi kenapa mereka bisa gak balikan? Sebenarnya apa yang terjadi sampai Cacha bisa membuat keputusan seperti itu?
“Hei, kenapa melamun?”
“E-enggak melamun kok, Bun… Ardhit masuk kamar dulu ya, Bun. Udah ngantuk banget nih… besok kan kita harus ke bandara pagi-pagi.”kilahku, lalu segera bangkit dari sofa setelah mencium pipi Bunda.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 kurang 15 menit pagi. Namun, mataku sulit terpejam. Aku masih tidak bisa mempercayai semua ini. Hubungan mereka benar-benar berakhir? Bagaimana perasaan Bang Kevin? Dia pasti sangat terpuruk sekarang….. dia sangat mencintai Cacha, aku tahu itu. Walaupun, aku juga suka sama Cacha dan ingin sekali memilikinya. Tapi, melihat Bang Kevin terpuruk seperti itu… membuatku dapat merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan. Tapi disisi lain, aku juga ingin mendapatkan hati Cacha….. Argh…… aku frustrasi.
--
Suara ketukan di pintu kamarku membuatku terjaga dari tidurku. Dengan malas, aku segera membuka pintu kamar, ingin melihat siapa yang sudah mengganggu tidurku. Aku terkejut begitu mendapati Bang Kevin berdiri menjulang dihadapanku saat ini. Dia menjulurkan kotak cincin beserta surat berwarna putih ke hadapanku. Refleks kedua alisku bertaut, bingung. Belum sempat aku bertanya padanya, dia lebih dulu membuka suara.
“Tolong kasihin ini ke Cacha… dan please, selama gue di Jepang… tolong jagain dia buat gue.”ucapnya, lalu berlalu dari hadapanku.Aku terpaku, masih berusaha mencerna perkataannya. Aku segera menutup pintu setelah memahami maksud perkataan Bang Kevin. Dia ingin aku memberikan cincin ini untuk Cacha dan juga menjaganya untuk dia…
Aku penasaran dengan isi dari surat tersebut. Dengan ragu, aku membukanya perlahan. Aku menarik secarik kertas yang ada di dalam surat itu dan segera membacanya sebelum bersiap-siap untuk pergi ke bandara. Begitu selesai membaca surat itu, aku merasa bimbang. Haruskah aku memberikan surat itu ke Cacha? Ta-tapi, kalau aku memberikan surat itu…. Cacha mungkin akan merubah keputusannya dan mereka akan kembali bersama. Aku tidak menginginkan hal itu terjadi…. walau Bang Kevin adalah saudara kandungku, tetapi aku tidak mau mengalah untuk bisa dapetin hatinya Cacha karena aku suka sama Cacha. Aku suka sama perempuan yang dia sangat cintai. Kalau saja waktu itu dia tidak memilih untuk pergi ke Jepang, mungkin keadaannya tidak akan seperti ini untuknya. Kalau saja waktu itu dia bisa membicarakan masalahnya secara baik-baik sama Cacha, mungkin semua tidak akan seperti ini. Jadi, sekarang dia pantas menerimanya. Dan, sekarang aku yang akan menjadi pelindung untuk Cacha. Menjadi pelindung untuknya bukan karena permintaan Bang Kevin tetapi tulus dari hatiku untuk bisa membuat dia melupakan Bang Kevin dan hanya menatapku seorang tanpa perlu mengingat akan masa lalunya bersama Bang Kevin.
Cha, I’ll win your heart!
Mungkin dengan menyimpan cincin dan surat ini, tanpa memberikannya pada Cacha adalah keputusan terbaik untuk saat ini. I think… this is the best decision for now!
***
Jangan lupa vote dan comment-nya ya!
Salam hangat dariku, rindingdong♡
(Ps: selagi menunggu part selanjutnya, bisa baca karyaku yang lainnya.)
YOU ARE READING
Antara Aku, Kau dan Dia
Teen FictionKafka, lelaki yang kucintai sejak duduk di bangku sekolah mencintai sahabatku. Aku harus mengubur perasaanku dalam-dalam. . Kevin, lelaki yang dulu dikenal dengan julukan 'bad boy'. Kini sudah menjadi lelaki yang berbeda 360 derajat dari sejak terak...