Author's
"Selamat pagi dunia!!" Gadis ini menatap pemandangan yang ada di luar jendela kamarnya. Rintikan hujan membuatnya tergelitik. Ia tersenyum lalu bangkit dari ranjangnya.
"Aku yakin hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan!" Ujarnya gembira. Ia melangkahkan kakinya menuju dapur.
Disana, ia melihat wanita yang bisa dibilang sudah memiliki umur yang tidak muda lagi. Namun, postur tubuh dan wajah wanita ini nampak jauh dari perkiraan umur. Ia masih terlihat cantik dan menawan.
"Mama!!" Sapa gadis itu pada wanita tadi yang disebut mama.
Mama menoleh, "Hai Ayra? Mau sarapan?" Tanya mama nya.
Ayra, ya, gadis cantik ini bernama Ayra. Ayra Diva Salsahenzie Rhea.
Ayra tersenyum, "Tidak ma. Nanti saja di sekolah Ayra sarapan. Sekarang Ayra harus bersiap-siap dulu. Bye, ma." Jawab Ayra yang langsung mengecup pipi mama nya.
Dengan sedikit bersenandung, ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Ia membersihkan dirinya selama beberapa menit. Selesai ia membersihkan dirinya, ia mengambil baju seragamnya. Tak ada beberapa jam, ia telah siap untuk berangkat ke sekolahnya.
"Ma?! Ayra berangkatt!!" Pamit Ayra pada mamanya yang tengah mandi. Mamanya hanya menjawab iya.
Di tengah rintikan hujan ini, Ayra menari-nari dengan gembiranya. Seakan-akan hujan ini adalah temannya.
"Ayra!" Seseorang berseru. Ayra melihat orang itu membawa payung berwarna biru tua.
Senyum Ayra terus mengembang, "Ada apa, Dit?" Tanya Ayra.
"Kau ini. Jangan main hujan. Nanti kau bisa sakit, Ayra.." orang itu memberi peringatan pada Ayra. Namun, bukan Ayra namanya jika tidak melawan.
"Ah kau berlebihan, Dit!" Ayra kembali berjalan meninggalkan Adit, Dabrian Aditya, sahabat kecilnya, yang masih melongo menatap Ayra.
Adit terkekeh, "Bukan berlebihan.. aku hanya tidak ingin kau sakit, Ayra." Ia meralat kata-kata yang di lemparkan Ayra.
"Huft. Baiklah.." ujar Ayra menyerah. Ia kecewa karena hari ini ia tak bisa melewatkan hari bersama hujan. Hujan yang selalu setia menemaninya saat ia merasa sedih. Meski Ayra terkenal sebagai anak yang ceria, Ayra banyak menyimpan kesedihan. Dimulai dari kesedihannya pada keluarganya. Ia kerap melihat ayah juga ibunya bertengkar. Bahkan sampai membawa-bawa nama perceraian. Hal ini membuatnya selalu berdoa dalam setiap malamnya agar kedua orang tuanya tak berpisah. Bagaimanapun juga Ayra adalah anak tunggal, ia membutuhkan keramaian keluarga juga semangat keluarga. Dan kesedihannya yang lain adalah seorang pria. Pria yang sangat mengenal Ayra namun tidak pernah menyadari perasaannya. Bahkan pria itu selalu menyakiti hati Ayra. Entah dengan perkataan, atau bisa saja dengan perbuatannya.
Ayra menatap langit dengan mata yang berlinang.
"Tuhan. Aku percaya. Kau selalu bersamaku." Gumamnya. Tak lama kemudian, salah satu sahabatnya menghampirinya dengan perasaan gelisah.
"Ayra..?" Panggilnya.
Ayra masih diam, ia tidak mau berbicara untuk saat ini.
"Ayra.." panggilnya lagi.
Lagi-lagi Ayra tak menyahut panggilan itu. Ia tetap berdiam.
"Ayra. Jangan dengarkan apa yang Aan bilang.. kau kan tahu sifatnya memang seperti itu." Sahabatnya ini, Sheryl Aurora, mencoba menenangkan Ayra dari kesedihannya.
Ayra memalingkan wajahnya, mencoba menutupi air matanya.
"Jangan tutupi air matamu, Ay. Tumpahkan air matamu dalam dekapanku. Berbagilah kesedihanmu denganku." Sheryl mengetahui bahwa Ayra sedang mencoba menutupi air matanya. Tanpa basa basi lagi, Sheryl memeluk Ayra. Dengan sangat erat.
Ayra terisak, "Aku tahu, aku memang tidaklah pantas untuk menyukainya! Karena aku memang rendah! Rendah!" Emosinya mulai memuncak dalam dekapan Sheryl.
"Ayra! Semua yang diucapkan Aan adalah candaan semata! Ia menyukaimu. Malah ia sangat menyukaimu." Sheryl mencoba mencari kalimat yang bisa menenangkan Ayra. Namun, bukannya tenang, Ayra malah semakin membangkitkan emosinya.
"Tidak!! Aku tahu semua ucapan mu itu adalah kebohongan belaka!!" Ayra melepaskan pelukan Sheryl lalu pergi meninggalkannya dengan perasaan emosi.
Hai guys?
jangan lupa Vote+Commentnya ya!
Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Friend
Romance"Aku menghirup udara segar pagi ini. Juga menatap pemandangan di depanku. Air terjun begitu derasnya mengalir. Aku melihatnya sambil tersenyum. Mengingat jalan hidupku yang seperti arusan air itu. Melewati lika liku batu lalu mengalir kembali dengan...