"Peduli apa kau soal Ayra?" Aan menggepalkan tangannya. Semenjak Jarra memasuki sekolahnya dan mengenal Ayra, hubungannya dengan adiknya menjadi berantakan. Jarra adalah adik kandung Aan.
"Aku peduli dengannya karena dia adalah temanku." Jawab Jarra enteng. Aan menunjukkan wajah penuh emosi.
"Teman? Jangan pernah menganggapnya teman!" Bentaknya.
Jarra menghela nafasnya pelan, "Adakah dendam yang tersimpan? Sampai kau seperti ini." Ucapnya lalu pergi meninggalkan Aan.
"Karena dia hanyalah anak pungut! Ingat itu!" Perkataan ini membuat Jarra menghentikan langkahnya, ia membalikkan arah tubuhnya menghadap Aan.
"Apa maksudmu bicara seperti itu?" Jarra menghampiri Aan dan menatapnya tajam.
Aan terkekeh, "Kau tahu Antonio pengusaha terkenal itu? Ia tidak memiliki anak dan mengadopsi Ayra."
"Aku tidak peduli." Jarra kembali berjalan meninggalkan Aan.
"Jarra!" Panggilan ini tak mendapatkan sahutan dari Jarra.
Jika mengingat perdebatan Jarra dan Aan tadi, sebenarnya Jarra hanya menanyakan apakah kakaknya tahu Ayra dimana atau tidak. Namun.. namanya Aan. Pasti akan memperpanjang masalah. Ia seperti ini semenjak mengenal Aura Fransiska. Anggota dari geng motor perempuan. Semenjak mengenal Aura, Aan menjadi orang yang memiliki dua kepribadian. Kadang ia bisa menjadi orang yang benar benar baik, namun kadang ia juga bisa menjadi jahat yang sangat amat jahat. Aan juga kerap pulang malam tanpa perduli apa yang orang tua nya omelkan padanya. Apalagi semenjak saat itu, Jarra, sang adik tidak lagi memperdulikannya. Tak lagi memberi perhatian layaknya perhatian adik pada kakaknya.
"Aku tidak menyukai orang pengecut seperti kau, Kak." Ucapnya sebila Aan selalu membujuknya untuk pulang bersama sewaktu pulang sekolah.
"Ayra! Kau harus sadar untuk mama sayang!" Tangis seorang ibu di luar ruang UGD. Ia nyaris pingsan saat tahu jantung Ayra sempat tak berdetak. Ia mengetahui kabar ini dari Adit. Aditlah yang selama ini selalu melacak dimana keberadan Ayra. Hingga akhirnya ia menemukan titik dimana Ayra berada. Di sebuah tempat yang amat sangat mewah. Namun ia terkapar lemas tak bernyawa disana.
Adit menitikkan air matanya.
"Ayra.." lirihnya."Adit! Tante Grasela!" Panggilan ini membuat mereka menoleh secara bersamaan. Itu Krystal. Bagaimana Krystal bisa tahu bahwa Ayra berada disini?
"Krystal?" Adit menautkan alisnya.
"Aku kesini bersama Sheryl. Aku khawatir dengan Ayra. Apa Ayra baik baik saja?" Krystal memperjelas mengapa ia berada disini.
"Masih ditangani dokter." Jawab Grasela, ibunya dengan lirih.
Seketika para perawat dan seorang dokter keluar dari ruang UGD. Mereka menebar senyum tulus.
"Keadaan anak ibu sudah membaik." Ucap dokter yang menangani Ayra dengan senyum.
Para perawat lainnya membawa Ayra keluar untuk dipindahkan ke ruang pasien. Dengan dituntun oleh Krystal, Adit juga Grisella.
"Ayra baik-baik saja. Tidak usah memperdulikannya." Ketus Adit.
Jarra menautkan alisnya, "Baik-baik saja tapi tidak bersekolah? Sudahlah. Tidak usah basa basi lagi. Dimana Ayra?" Ia mengulang pertanyaannya lagi.
"Jangan memperdulikannya lagi. Kau hanyalah masalah untuknya." Adit meninggalkan Jarra yang masih terpaku.
"Baiklah." Gumamnya.
Jarra terus berjalan menelusuri rumah sakit tempat dimana Ayra berada. Ia sempat mengikuti Adit sepulangnya dari sekolah tadi.
"Permisi, adakah pasien yang bernama Ayra Diva Salsahenzie Rhea disini?" Tanya Jarra pada salah seorang perawat.
Perawat itu mengangguk, "Ia berada di kamar --" Jarra dengan antusias lalu berjalan ke kamar yang di ucapkan oleh perawat itu.
"Ayra? Apa kau baik-baik saja?" Jarra berbicara pada Ayra yang belum sadarkan diri. Sedari kemarin, Ayra belum juga sadarkan diri. Ditemani banyak bunga berisi tulisan cantik, Ayra masih saja tertidur pulas. Entah apa yang ia mimpikan sampai tertidur selama ini.
Jarra menggenggam tangan Ayra. "Ayo bangun. Buat aku tertawa lagi. Hanya kau yang mampu membuatku tertawa.." bisiknya dengan sedikit lirih.
hai guys.
vote+comment ya.
thanks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Friend
Любовные романы"Aku menghirup udara segar pagi ini. Juga menatap pemandangan di depanku. Air terjun begitu derasnya mengalir. Aku melihatnya sambil tersenyum. Mengingat jalan hidupku yang seperti arusan air itu. Melewati lika liku batu lalu mengalir kembali dengan...