20

18K 846 14
                                    

Alvin menatap gadis yang ada disampingnya. Gadis dengan wajah pucat itu sukses memporak-poranda kan hidupnya. Hidupnya sudah berubah 180 derajat. Tidak bisa dipungkiri, jika dirinya sudah terikat perasaan dengan Diva. Senyumnya yang kini menjadi favoritnya bagaikan candu yang tak bisa dilawannya. Wajahnya sudah tersimpan di dalam memori otak dan tak akan pernah bisa dilupakannya. Bagaimana bisa ia membiarkan Diva jatuh ke dalam pelukan Noval? Tentu saja tak akan ia biarkan.

Tangannya terulur ke wajah Diva. Menyingkirkan poni yang menutupi mata gadisnya. Betapa beruntungnya bisa memiliki Diva seutuhnya. Setidaknya bisa selalu menatapnya seperti ini. Ia sadar, Tuhan telah mengirimkannya seorang bidadari yang akan menemaninya menghabiskan sisa hidupnya di dunia.

"Makasih, lo udah milih gue."bisik Alvin di telinga Diva. Alvin memperbaiki posisi tidurnya dan terbang ke dunia mimpi.

.
.
.

Diva mengerjapkan matanya. Dilihatnya jam dinding yang menggantung. 'Masih jam segini' batinnya. Ia menoleh ke samping dan mendapati Alvin sedang tidur lelap. Bibirnya membentuk senyum.

Kondisi badannya sudah lebih baik dari kemarin. Panas badannya sudah menurun. Diva menghela napas. Ucapan Noval kemarin siang kembali terputar di otaknya. Kepalanya mendadak pusing. Perutnya belum terisi apapun sejak kemarin siang. Ia memutuskan untuk mencari makanan di dapur.

Sarah melihat putrinya sedang berjalan ke arahnya. Ia tersenyum. "Udah baikan?"
Diva mengangguk. "Udah bun, tapi masih agak pusing."
"Nanti sekolah atau gimana?"tanya Sarah.
"Kayaknya nggak dulu deh Bun, nanti kalo pingsan malah ngerepotin yang lain."jelas Diva.
Sarah tersenyum jail. "Kasian yang lain atau kasian Alvin?"
"Bunda apaan sih,"kata Diva kesal.
Sarah tertawa. "Kamu belum makan dari kemaren kan? Makan dulu, Bunda siapin ya."

Diva mengangguk dan duduk di kursi meja makan. Ia memperhatikan Sarah dalam diam. Dirinya menjadikan Sarah sebagai panutan. Senyum selalu tersungging dari bibirnya, kelembutan selalu terpancarkan, dan ketenangan yang selalu membuat dirinya ikut tenang. Betapa beruntungnya dia mendapatkan Bunda seperti Sarah.

Sarah meletakkan mangkok berisi bubur di depan Diva. "Lagi banyak masalah ya? Kok bunda perhatiin kamu suka ngelamun akhir akhir ini."
"Enggak kok bun,"elak Diva.
"Bunda tau kamu nyembunyiin sesuatu,"kata Sarah tenang. "Tapi bunda nggak maksa kamu cerita sekarang."lanjut Sarah.
Diva terdiam. Tangannya meletakkan sendok yang dipegangnya. "Aku belum bisa cerita sekarang, Bun."
Sarah tersenyum. Tangannya menggapai kepala putrinya dan mengelus rambut hitamnya. "Bunda siap dengerin, kapan pun kamu siap."
Diva hanya menatap mata cokelat milik Sarah. Begitu sampai 5 menit setelahnya.

.
.
.

Alvin menatap papan tulis malas. Pelajaran sejarah hanya mengulang materi dua hari yang lalu. Banyak siswa yang mengantuk saat mendengarkan Pak Roni. Rifky tak kalah malasnya. Ia memasang headset dan menelungkupkan wajahnya di meja.

"Mati kutu gue dengerin Pak Roni,"keluh Rifky.
"Lo pikir gue kagak."balas Alvin kesal.
"Oiya gimana si Diva? Ada perkembangan?"tanya Rifky.
Alvin menggeleng. "Panasnya udah turun sih, tapi masih pusing."
"Bukan itu maksud gue, Vin,"kata Rifky.
"Intinya masih belom ada kemajuan."ucap Alvin.
Rifky menepuk bahunya. "Kantin yok."

Alvin mengikuti Rifky keluar dari kelas. Belum jam istirahat memang, tapi apa salahnya jika mencari kesempatan untuk mengisi perut? Banyak mata yang menatap kearahnya. Siapa yang tak mengenal kapten basket sekolah? Tentu tidak ada.

"Gila ya cewek cewek disini,"ucap Rifky.
Alvin menoleh. "Gila gimana?"
"Pada ngeliatin lo gitu, gabisa biasa lagi pas liat."kata Rifky.
"Lo harusnya seneng punya temen macem gue,"kata Alvin percaya diri.
Rifky mendecih. "Nyesel iya."
"Oh gitu, lo nyesel temenan sama gue? Oke."ucap Alvin yang lalu meninggalkan Rifky sendirian.
"Aelah baper amat lo Vin!"seru Rifky.

Alvin tetap berjalan tanpa menghiraukan seruan Rifky. Tentu saja dirinya bukan tipikal yang mudah marah. Hanya saja, sesekali mengerjai Rifky bukanlah hal yang salah.
BRUKK
Seseorang menabrak tubuhnya dan segelas minuman tumpah dibajunya. Rahang Alvin mengeras saat melihat siapa yang menabraknya.

.
.
.

Diva menelan obatnya. Hari ini berjalan dengan sangat lambat. Terlebih tak ada satupun orang kecuali dirinya dirumah ini. Bunda pergi arisan, Ayah juga pergi ke kantor. Alvin? Tentu masih disekolah. Grace dari tadi juga belum membalas linenya. Semua orang sangat sibuk hari ini.

'Masih jam satu,' batin Diva. Ia memutuskan untuk memutar beberapa film melalui laptopnya. Pilihannya jatuh ke Remember When. Film ber-genre romance favoritnya. Namun, belum sempat meng-klik tombol 'play', seseorang mengetuk pintu rumah. Dengan malas, Diva bangun dari tempat tidurnya dan segera membuka pintu rumah.

Beberapa detik setelah membuka pintu, sebuah pelukan hangat menyapa tubuhnya. Seseorang dengan tubuh tinggi terbalut seragam sekolah. Aroma cologne yang menjadi favoritnya memasuki indra penciumannya.

"Udah baikan?"tanya Alvin sesudah melepas pelukannya.
Diva mengangguk pelan.
"Udah makan?"tanya Alvin lagi.
Diva menggeleng.
Alvin mencubit pipi gadisnya pelan. "Mau makan apa, hm?"
"Gatau, lagi gak nafsu makan."ucap Diva.
"Buruan ganti baju, cari makan diluar,"kata Alvin.
Dahi Diva menyernyit. "Makan diluar?"
Alvin mengangguk. "Iya buruan, gue tunggu."
Diva mengangguk malas dan segera masuk ke kamar untuk mengganti baju tidurnya.

.
.
.

10 menit kemudian, Diva keluar dari kamar dan Alvin langsung mengajak gadisnya pergi. Di sepanjang perjalanan, tak ada satupun yang memulai pembicaraan. Alvin memilih fokus dengan jalanan. Sedangkan Diva memilih memperhatikan hpnya yang dari tadi kebanjiran notifikasi dari Grace dan Reffa.

"Serius amat,"
"Hehe iya,"jawab Diva singkat.

Setelah 30 menit perjalanan, mereka sampai di sebuah tempat makan yang biasa Alvin kunjungi. Alvin menggenggam tangan gadisnya semenjak turun dari mobil sampai masuk ke dalam tempat makan tersebut.

"Mau makan apa?"tanya Alvin.
"Apa aja, pokoknya enak."jawab Diva.
Alvin mengangguk. "Duduk sini, jangan kemana-mana."
"Iya,"

Seraya menunggu Alvin memesan makanan, Diva memperhatikan sekelilingnya. Tempat yang asik untuk makan. Tidak terlalu formal, pas untuk berkumpul dengan teman ataupun keluarga. Tetapi, sosok perempuan dengan seragam yang sama dengan miliknya menarik perhatian. Dengan gaya yang berlebihan, Diva tahu siapa perempuan itu. Tiba-tiba, perempuan yang menjadi pusat perhatiannya berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arahnya. Oh hell no! Tidak, jangan sekarang. Tapi terlambat, perempuan itu sudah tersenyum sinis ke arahnya. "Oh hai, jalang."

ㅡtbc

××××××××××××××××××
Hola! Aku balik yeeee. Oke gada yang seneng. Aku bener bener bersyukur sudah bisa membuat part 20 ini /alay. Kuharap part 20 bisa mengobati kerinduan kalian sama Alvin-Diva ini. Makasih juga buat komen komen yang menyemangati hehe. Aku makin cinta deh /huek. Pokoknya terimakasih! /deepbow.
Oke sampai jumpa di part selajutnya!

The Most Wanted (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang