Tiga hari pertamaku sebagai istri Boby --simulasi-- kulewatkan di rumahku sendiri.
Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Boby, karena kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk mungkin karena ketegangan
yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Boby.Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Boby sendiri. Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara suara di dapur. Aku menemukan Boby di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan secangkir kopi yang harumnya menggoda.
"Aku ada rapat pukul setengah delapan," seru Boby sambil membalik dadar telurnya. "Aku mesti berangkat sebelum setengah enam."
Kucicipi nasi goreng buatannya. "Aku tidak tahu kau pintar memasak."
"Pramuka," komentar Boby tersenyum.
Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. "Aku juga pandai tali temali,semafor,menjahit."
"Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput."
Boby terbahak. "Ini hanya sekali-sekali, Shan. Aku tidak mungkin masak setiap pagi."
"Apalagi aku. Kita perlu cari pembantu."
"Jangan," Boby menggeleng. "Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda."
"Jadi?"
Boby menggaruk kepalanya. "Bisakah kau masak nasi tiap hari?" pintanya.
"Aku punya rice cooker."Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Boby akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya?
Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya."Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik."
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah.Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.
"Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,"
katanya saat kembali ke kursinya.
"Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati," lanjutnya. "Misalnya,
aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat."Dahiku berkerut. "Untuk apa?"
"Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?"
Aku menggeleng. "Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri
dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh."
"Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat."
"Kau kedengaran seperti diktator."
"Kurasa aku tidak minta terlalu banyak."
"Itu terlalu banyak untukku."Boby meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah
membaca gelagatnya kali ini. Ia benar- benar marah."Ingat," lanjutku hati-hati. "Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak
untuk mengaturku seperti itu."
Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan
ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. "Baik. Kalau itu maumu," desisnya kemudian.Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Boby memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Boby akan semakin berang karenanya.
