Lima

1.5K 135 14
                                    


"Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke
Jerman, Shan. Dan kau harus menempuh masa
idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan
pendapat orang lain yang pasti berkomentar
kalau kau menikah denganku segera setelah
masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini
sepuluh bulan lagi."



-------------------------

"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi...
Entahlah."
"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu
bahagia?"
"Aku...." aku tergagap dan menggeleng.
"Jadi, bicaralah dengan Boby."

Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Boby malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu aku tiba di rumah, Boby sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.

"Kenapa kau sudah di rumah?" tanyaku.

Boby menyilangkan telunjuknya di depan bibir
dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.

"Ada apa?"

"Sst!"

Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkan tangannya. Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar... mawar putih?

"Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan
kita," katanya.

Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu.
Wajah Boby benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.

"Aku... aku tidak punya hadiah apa-apa,"
gumamku sambil kembali menatap ayunan itu,
menyembunyikan kalutku. "Aku lupa...."

Boby tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang
tahunmu sendiri," katanya.
Ia duduk diayunan itu. "Ayo," katanya sambil
menarik tanganku.

Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Boby menikah, simulasi. Kenapa Boby harus menganggap hari itu demikian istimewa
sementara aku sendiri sama sekali tak
mengingatnya?

Boby mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya,
tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan
hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.

"Shan, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru,
anak nakal," teguran Boby membuyarkan renunganku.

"Ada apa?"

Kutatap matanya. "Bob, Gery pulang."
Dahinya berkerut. "Gery?"

"Pacarku yang pergi ke Jerman."

"Oh," ia mengangguk. "Kapan?"

"Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun."

Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan
apa-apa setelah itu. "Dia sudah menikah?"
tanya Boby, seperti mendorongku bicara. Aku menggeleng.

"Lalu?"

"Dia ingin menikah denganku," ujarku cepat-
cepat, tanpa memandang wajahnya. "Ia hanya di
sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita
segera bercerai."

"Oh."

Boby tak mengatakan apapun selama beberapa
saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan
ringan, seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia
mencintaimu?" Aku mengangguk.

Wedding SimmulationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang