Duabelas

2.8K 137 23
                                    

Aku menjerit! Aku masih belum percaya ini! Apakah ini saat aku harus kehilangan dia? Aku harus kehilangan Boby dan aku belum sempat mengucapkan maafku padanya? Aku belum sempat bilang kalau aku sangat merindukannya dan aku ingin hubungan kami kembali baik?

Seperti berjalan mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat bersamanya selama ini. Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai pernikahan kami yang sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.

Pandanganku tiba-tiba mengabur dan gelap...

-------------------------------



Saat sadar aku ternyata sudah ada di ruang medis pihak bandara. Petugas bilang kalau aku sudah pingsan selama satu jam. Aku mengira kalau aku baru saja bangun dari mimpi buruk namun saat kutanyakan perihal kecelakaan pesawat yang baru saja terjadi, petugas itu membenarkannya.

Nyata kah ini?!

Sambil menahan tangis aku menelepon orang-orang rumah tentang kecelakaan itu. Aku berusaha tegar saat megabarkannya meskipun dalam hati aku sangat ingin menjerit sejadi-jadinya. Orang rumah kaget dan segera menuju bandara untuk menemuiku. Saat mereka sampai, di bandara sudah banyak sekali wartawan yang ingin meliput kejadian itu.

Ibu datang sambil menangis dan langsung memelukku. Aku berusaha setegar mungkin di depan keluargaku. Mereka bertanya ini-itu namun aku enggan menjawab semuanya. Aku belum sanggup untuk menjawabnya. Please jangan tanya dulu sekarang.

Kami menunggu beberapa saat di bandara untuk menunggu kabar kepastian siapa saja korban kecelakaan itu. Hidung dan telingaku mulai terasa panas. Mataku sudah mulai pedih dan berkaca-kaca. Saat itulah aku mulai tidak tahan dan aku ijin untuk ke kamar mandi sebentar. Aku hanya ingin menenangkan diri sebentar di sana. Aku ingin sendiri.

Air mataku tumpah begitu aku berada di dalam kamar mandi. Aku berusaha membasuh mukaku dengan air agar air mataku luruh bersamanya. Namun sia-sia. Tangisku justru semakin pecah dan aku jatuh bersimpuh dilantai meratapi kebodohanku, kenaifanku, keegoisanku,... dan Boby...

***

Aku sudah mulai tenang dan bisa mengendalikan diriku. Aku tidak mau terlihat cengeng di hadapan keluargaku nanti. Jika kakak-kakanya Boby sudah menangis tersedu-sedu seperti itu dan aku juga ikut-ikutan menangis,lantas siapa yang akan menghibur dan menenangkan mereka nanti?

Saat berjalan keluar dari kamar mandi aku terburu-buru karena aku tidak mau kalau sampai dicegat wartawan untuk ditanya-tanya karena aku salah satu keluarga korban. Saat itulah aku bertubrukan keras dengan seseorang yang berjalan sama terburu-burunya denganku sampai air di gelasnya tumpah semua ke bajuku dan jaketnya.

"Aduh maaf mas gak sengaja." Aku masih menunduk membersihkan bajuku yang basah oleh minuman dingin itu.

"Shania?" Suara itu memanggilku dan aku sangat mengenalinya!

"Boby!" kutatap sosok yang berdiri tegap di hadapanku. Mimpikah diriku?

"Shania! Kamu disini ngapain?" Boby menghampiriku dan memegang pipiku yang masih basah oleh air mata.

"Kamu habis nangis?"

Aku hanya bergeming menatapnya saat itu.
Kami berdua terpaku sesaat saling menatap penuh arti.
Sesaat kemudian Boby merentangkan kedua tangannya dan aku pun langsung menubruknya dan memeluknya erat. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi saat ini. Aku hanya ingin menumpahkan tangisku sejadi-jadinya di pelukannya. Tangis kesyukuran bahwa aku belum kehilangan dia. Syukur bahwa sosok yang kucintai masih bediri tegak dan nyata di hadapanku saat ini. Ini bukan mimpi. Ya, ini bukan mimpi.

Wedding SimmulationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang