Enam

1.7K 146 14
                                    

"Aku senang Boby sudah menikah denganmu.
Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat
seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan
meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal
dengan Mama selama dua puluh lima tahun."

Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak
Melody dengan hati menggigil. Bagaimana bisa
kukatakan kepadanya bahwa aku dan Boby
sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini
secepatnya?

----------------------------

Sesampai di rumah, Boby langsung menuju ke
kamarnya.

"Kau mau kumasakkan nasi goreng, Bob?"

"Nanti saja. Aku tidak lapar."

"Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh.
Nanti kau sakit. Mau ya?"

Boby mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi
semakin khawatir melihatnya.
"Tunggu di sini," ujarku lagi. "Aku tidak akan
lama."

Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari
es, aku mendengar suara Boby di kamar mandi. Ia
kutemukan membungkuk di wastafel, menangis
dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat
kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa
terpaku diambang pintu, tak pasti apa yang
harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari
keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin
meninggalkan Boby dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Boby dengan ragu.

Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku
agaknya sedikit menenangkannya,dan lambat
laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin
dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya.
Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai.

Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.

"Maaf, Shan," bisiknya. "Aku tidak bisa menangis di
depan kakak-kakakku. Mereka...."

"Aku tahu. Tidak apa-apa," tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya.
"Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya."
Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik.

Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya
tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan
kembali selimutnya, ia memegang tanganku.

"Terima kasih."

"Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku Bob."

"Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku
pernapasan buatan," ia tersenyum nakal.

"Oh, kamu!" aku ikut tersenyum, lega.

"Dan untuk menikah denganku," lanjut Boby kemudian, ekspresinya begitu serius.

"Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. "

Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata
saat aku bicara, "Aku yang mesti berterima kasih
kepadamu."

"Untuk apa?"

"Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk
kesabaranmu. Pengorbananmu."

Boby tersenyum kecil. "Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih."

"Jangan memaksa," aku mencoba bercanda.
"Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah
sedikit."

Boby tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.

Wedding SimmulationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang