3

2.5K 215 5
                                    

Dan sekarang, aku disini. Berduduk berhadapan dengannya, berdua. Hening, tidak ada yang ini memulai percakapan. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing, atau lebih tepatnya dia yang membuang waktu dengan memandang kosong cangkir teh hangat yang berada di tangannya saat ini. Sungguh, aku tidak pernah menyangka melihat pria ini sekacau sekarang. Dia bukan seperti dia yang biasanya.

"Ehm, kalau tidak ada yang ingin dibicarakan-"

"Ada." Ucapnya memotong perkataanku. Aku mengurungkan niatku untuk kembali meneruskan kalimat yang tertunda. Ia menatapku dalam, dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan.

"Ini menyangkut pernikahan kita."

Aku terpaku ditempatku. Baik, apakah ini berita buruk atau baik?

"Si pria tua itu,uhm,maksudku Aboeji meminta kita, aku dan kau.." Ia menggantungkan kalimatnya, membuat aku menanti dengan perasaan was-was.

"Ya?" Tanyaku.

"Ia meminta seorang cucu dan kau harus menolongku!" Ucapnya dengan nada tinggi, terdengar frustasi.

"Tunggu, pertama aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba meminta anak dariku, begitu juga Aboeji. Kedua, kenapa kau meminta tolong padaku?"

"Begini, aku akan membuat semua ini terasa mudah. Seperti simbiosis mutualisme, kau menguntungkanku dan aku menguntungkanmu. Aku mendapat anak darimu dan semua harta warisan tetap akan menjadi hakku dan kau tentunya paling diuntungkan karena kau bisa menikmati semua harta dan fasilitasku yang mulai sekarang adalah milikmu juga. Semacam take and give. Bagaimana?"

JEDAR.

Bagai tersambar petir di siang bolong, bahkan aku masih tidak bisa percaya bahwa ia menganggap hal ini dengan semudah itu. Apalagi, dia menganggapku bagai seorang pengemis sekarang. Aku kesal, kecewa, sedih disaat yang bersamaan. Memangnya dia pikir membuat anak akan semudah itu?

Aku tidak ingin apabila anakku lahir nanti hanya karena memikirkan keuntungan semata pria itu! Aku ingin memiliki keluarga kecil yang bahagia! Yang selalu aku impikan sejak dulu! Kenapa semuanya harus seperti ini.

Ingin aku berteriak, memukulnya dan menampar pria ini. Namun aku tahu, aku tidak akan pernah bisa. Karena semakin aku berusaha untuk membencinya, aku hanya akan semakin mencintainya.

Andai ia mencintaiku. Semuanya akan lebih mudah.

**
"Apa yang kau masak?" Tanyanya membuat aku terlonjak kaget.

"Nasi goreng." Ucapku singkat dan dia hanya mengangguk dan duduk di meja makan sambil membaca koran ditemani secangkir kopi hitam yang telah kusediakan.

Ia berubah, entah sejak hari itu atau bukan. Dan aku harap ia berubah menjadi lebih baik karena hari itu.

Flashback.

"Jadi bagaimana?" Ucapannya membuyarkan pikiranku. Aku menghela nafas panjang.

"Beri aku waktu." Ia menaikkan sebelah alisnya, seolah menerka ucapanku barusan.

"Aku, walaupun aku memang menyetujui pernikahan ini bukan berarti aku menikahi Oppa hanya karena harta dan jabatan. Aku menerima pernikahan ini, tulus. Aku bukan seorang pengemis dan Oppa bukan lembaga sosial masyarakat jadi perlakukan aku seperti Oppa memperlakukan orang-orang disekitar."

Aku menarik nafasku sekali lagi, sedikit berusaha meredam emosiku.

"Aku mau, memberikan Choi Aboeji keturunan." Ucapku membuat raut wajahnya berubah cerah seketika.

"Gomaw-"

"Tapi dengan satu syarat." Lanjutku. Ia menatapku dalam.

"Apa?"

"Oppa harus belajar mencintaiku. Aku ingin Oppa memperlakukanku sebagaimana suami terhadap istri, aku ingin dicintai dengan layak. Aku bukan teman wanita Oppa ataupun teman one night stand. Aku berbeda dengan mereka, jadi apabila Oppa ingin memiliki keturunan denganku, aku ingin Oppa mencintaiku. Karena aku hanya akan melakukan itu ketika Oppa benar-benar mencintaiku"

Aku dapat merasakan bahwa beberapa beban yang selama ini menjadi tekanan bagiku terangkat begitu saja. Hari ini, untuk pertama kalinya aku bisa memberitahu Oppa apa yang sebenarnya aku rasakan selama ini.

Tapi berlawanan dengan pria itu, dapat aku lihat bahwa rahangnya mengeras bahkan matanya seakkan menatapku tajam.

"Baik. Aku setuju." Ucapnya lalu meninggalkan aku di tempat itu sendiri. Ia, menyanggupinya?

Flashback off.

Aku meletakkan dua piring nasi goreng, satu untukku dan satu untuknya. Ia segera menyingkirkan koran harian itu dari wajahnya dan melahap nasi gorengku. Kami makan dalam diam, hanya beberapa kali terdengar dentingan sendok dan piring yang beradu.

"Hari ini, kau berencana ke cafe Hyemi?" Tanyanya membuat aku menatapnya.

Darimana dia tahu?

"Hyemi mengabariku tadi lewat chat." Ucapnya membuat aku mengangguk mengerti. Tunggu, apa dia bisa membaca pikiran?

"Hm, aku berencana untuk kesana. Lagipula, Hyemi dan aku berteman baik tidak ada salahnya kami mengobrol." Ucapku dan setelah itu tidak ada percakapan sama sekali.

Ia beranjak dari kursinya, aku melihat piringnya yang telah bersih tanpa sisa. Dia memakan masakanku.

Aku bangkit berdiri dan meninggalkan separuh nasi goreng yang masih tersisa. Mungkin ini terlihat tidak biasa, tapi sejak hari itu kami berusaha untuk menjadi pasangan suami-istri sebenarnya. Aku merasa senang, tapi mengingat keterpaksaan yang harus ia lakukan terkadang membuatku sedih.

"Aku pergi. Hati-hati." Ucapnya lalu pergi meninggalkanku, namun baru beberapa langkah ia berhenti ditempatnya dan berbalik. Aku menatapnya bingung. Ia berjalan kearahku dan berdiri dihadapanku, menatapku dalam.

"Ergh, oppa?"

Chu.

Ia menciumku. Mencium dahiku.

"Aku pergi sekarang." Ucapnya tanpa ekspresi dan tubuhnya menghilang dibalik pintu. Aku bisa merasakan jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya dan pipiku memanas seketika.

Aku tidak bermimpi kan?

Choi Seunghyun! Kau membuatku gila!

**

HAIII SEMUA! Weirdostabi kembali dengan part 3 gimana part ini? Kurang greget ya? Maafin ya soalnya draft yang pertama gak ke save dan gak ada back up nya jadi mesti ketik ulang lagi :"""""

Maaf juga ya kemarin gak update soalnya lagi banyak tugas. Hehe biasa anak sekolah.

Jangan lupa vote and comment ya reader! Smooch!

c.weirdostabi //dorotheagustin

TIME [FF BIGBANG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang