Prologue

2.2K 77 14
                                    

Cinta... Aku sebenarnya tak tahu...

Apakah sebenarnya cinta itu

Tapi jika perasaanku ini bukanlah cinta

Maka tak ada yang namanya cinta di dunia ini

------

Kupandang langit kota tua ini, begitu biru, begitu cerah. Meski jacket hitamku dan celana panjangku terselimut debu, tubuhku terlalu lelah untuk berjalan, tapi hatiku tenang. Dia sudah ada di sampingku. Menemukanku. "Tersesat?", senyumnya mengembang, Tuhan, Kau tahu hatiku tak bisa berbohong, hanya berada di sampingnya saja aku merasa tenang, debaran di jantungku sepertinya menguat, bereaksi merasakan degup jantung makhluk di sampingku. "Begitulah, kota ini lumayan menyesatkan, jalur busnya lumayan membingungkan, padahal kau tahu, penyakit lamaku...". "Buta arah...muahahaha....". Entah kenapa, derai tawanya menular padaku. Ah, senangnya, akhirnya aku sampai juga di kota ini, melihat-lihat bangunan tua dan menyusuri sejarah di dalamnya.

"Bagaimana kabarmu?", tanyanya. "Yah, seperti yang kau lihat, bagaimana menurutmu?". Dia menopang dagunya dengan tangan dan melihatku sejenak. "Kurasa kau baik-baik saja...", kami berjalan memutar alun-alun dan duduk di taman kota. Sejenak menikmati keindahan bunga mawar yang mulai mekar dan terhanyut dalam pikiran kami masing-masing. "Something wrong?", suaranya mengagetkanku. "Eh?". "Tampaknya kau seperti sedang memikirkan sesuatu...gimana kuliahmu?". "Yah, hampir berakhir, bentar lagi wisuda...", jawabku acuh. "Wah, enak nih, tinggal melamar, atau dilamar, hehe, pilih yang mana?", tanyanya sambil tertawa, duh, giginya itu lho, aku iri, betapa rapinya gigi itu berbaris, putih bersih, seperti senyum cowok di iklan pasta gigi saja. Aku berfikir sejenak. "Ya...kalau Valentino Rossi melamarku, aku nggak nolak kok...". "Busyet...seleramu tinggi 'kali...". "Begitulah, seleraku memang 'tinggi' hehe...", jawabku sambil menghela nafas. Ngerasa nggak ya ni orang...

"Ih...ih...dari nada bicaramu, kayaknya ada sesuatu deh...kamu udah ketemu tambatan hati ya? Cie...udah dewasa dong sekarang...tell me about him...". Aku memandangnya lalu tertawa. "Kau ini ada-ada saja...ehm, beneran nih mau tahu seperti apa ceritanya? Panjang dan lama lho...". Dia pura-pura melihat jamnya. "Konsultasi setiap satu jamnya kuhitung sepuluh ribu, tarif antar temen, gimana?". "Busyet...mahal amat...". "Itu sudah murah, tahu...udah termasuk diskon 20%". Aku berdecak. "Baiklah...baiklah, nah, dengarkan ya nak, ceritaku ini baik-baik...".

---

"Aku, yah, kisahku mungkin terdengar aneh, mulai dari mana ya, aku jadi bingung...", aku menggaruk kepalaku. "Dari kau kenalan dengannya, dimana dan bagaimana...". Aku menghela nafas. "Wah...kisahku nggak seperti itu...ini mungkin kedengarannya aneh bagi kamu, tapi, aku mencintai orang ini jauh...jauh sebelum aku bertemu dengannya...". "Eh?". "Begini...kau kan tahu aku ini suka menulis cerpen?". "Yup's". "Setiap menulis sebuah cerita, tentu kubayangkan dulu, seperti apa tokohnya, bukan?. Sejak aku SMU, aku membayangkan seorang cowok, sesuai imajinasiku, semakin lama, bayangan itu berkembang semakin nyata. Seperti seorang seniman, yang jatuh hati pada karyanya sendiri. Dari posturnya, wajahnya, rambutnya, pakaian yang dikenakan,...ah, pokoknya semuanya deh...dari suatu bayangan abstrak menjadi manusia yang sesungguhnya". "Wow, jadi, sekedar pacar khayalan?", tanyanya. Aku mengerdik. "Mulanya begitu...kukira aku hanya bisa menghayalkan saja tentangnya, betapa lembutnya dia, baik hati dan penuh kasih...yah, kayak gitu lah, tapi pada suatu hari, saat aku dalam perjalanan pulang, waktu itu aku berada di dalam bus, aku nggak sengaja melihat keluar jendela, eh, di terminal Westside..kau sering melewatinya kan?". "He-eh..", "Aku melihat seorang pemuda, dia sedang berdiri, bersandar di tembok...dekat pertokoan terminal, kau bisa bayangkan...kan kelihatan tuh kalau dilihat dari jendela bus, aku benar-benar kaget...pemuda itu persis sekali seperti tokoh dalam cerpenku, aku terpana, eh, waktu busku melaju, aku tersentak, ingin sekali aku menemuinya, tapi aku hanya bisa memandangnya saja, bus perlahan menjauh dan aku merasa sangat sedih...seperti baru kehilangan sesuatu yang sangat berharga". Tak sadar aku menghela nafas. "Ceritamu masih belum menarik", katanya. "Iya...sabar dunk,menariknya setelah ini".

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang