NEVER DIE PART II

386 31 1
                                    

Misha tak menyadari airmatanya mengalir di kedua pipinya, Caesar hanya melongo memandangnya. Ternyata Misha bisa nangis juga? Waktu dia jatuh dari tangga kostnya dan terpaksa di bawa ke rumah sakit, Misha tidak menangis, padahal tulang kakinya retak, waktu terjebak tawuran di jalan Middletown dan tangannya tergores kawat, gadis itu hanya menggerutu saat Caesar membalut lengannya yang luka cukup dalam, sampai-sampai Caesar bertanya-tanya, apa Misha pernah menangis? Tubuh cewek itu seolah terbuat dari mesin. Kayak robot. Sekarang, saat dilihatnya Misha menangis, cowok itu hanya bisa memandang, lagian kalau berani mengusap air mata di pipi Misha, bisa-bisa dia yang nantinya menangis karena Misha bisa saja memukulinya. "Cep...cep...jangan nangis...ceritanya emang sedih, tapi duapuluh tahun udah lewat neng, nggak ada yang bisa disesali ataupun ditangisi lagi". Misha menyeka airmatanya dan mengelap ingusnya. "Ih jorok...", komentar Caesar. "Masa anak cewek gak punya tissue atau sapu tangan?". Misha hanya diam.

Misha melipat hasil pemeriksaannya dan memasukannya ke dalam tas. "Ya udah, aku pergi dulu ya, kamu silahkan meneruskan tidurmu...", Caesar berdiri. "Emang udah jam berapa?". "Masih jam sebelas kok, tolong pamitkan sama oom Pandu ya...". Caesar keburu menuju pintu dan berteriak ke lantai dua. "Oom, temenku mau pamitan nih...". Misha kaget. "Eh, kok malah panggil dia sih?". Caesar hanya tersenyum misterius. Tak lama dilihatnya oom Pandu berjalan dari dalam. Misha tersenyum kikuk. "Pamit dulu oom, terimakasih sudah manggilin Caesar tadi...". Pria itu malah memandang Misha sambil mengernyit. "Kamu habis nangis? Diapain Caesar?". Tangan pria itu terulur dan menyentuh pipi Misha, sebentar, tapi cukup membuat Misha kaget. Pria itupun cepat menarik tangannya kembali, seperti ada aliran listrik yang menyengatnya, menyadarkannya. "Kamu kuliah di mana?", tanya Pandu. "EC...semester tujuh...", kata Misha lalu dia memandang Caesar. "Udah ya...dadah Caesar...aku mau ke apotek dulu..bye!". lalu tersenyum pada Pandu dan meneruskan langkahnya keluar. Membawa sebuah kisah yang akan dia tuliskan. Kisah Pandu dan Layla. Misha menghela nafas. Sepertinya kisah itu begitu lekat, begitu nyata tergambar dalam benaknya seolah dia sendiri yang mengalaminya. Misha mengira-ira, mungkin kesedihan karena kehilangan Layla yang membuat pria itu berani menghadapi setiap kondisi dan dengan ikhlas mempertaruhkan jiwa raganya demi kemanusiaan, Pandu jadi tidak takut mati, seolah dia sudah bersiap untuk mati dan bertemu Layla. Misha tersenyum. "Mungkin begitu ya...cinta sejati itu memang tak harus memiliki...tapi tetap saja terasa berat...".

"Pacarmu manis...", kata Pandu pada Caesar. Cowok itu tertawa. "Eh...dia temenku kok, ih, amit-amit punya pacar kayak dia...". "Lho?". "Dia bukan cewek Oom, tomboinya itu lho, sering kok dia luka gara-gara berantem sama cowok, pokoknya Misha itu enggak cewek, tapi juga bukan cowok". "Oh ya? Tapi wajahnya itu...aku jadi ingat seseorang...". Caesar menghela nafas. "Misha...mirip Layla kan Oom?". Pandu tersenyum sedih. "Sangat mirip, saat aku membuka tirai dan melihat wajahnya dari balik jendela tadi...kupikir ada malaikat yang mampir ke rumahku, kupikir Layla yang datang...tapi saat kulihat gadis itu mengenakan jacket army...". "Dia jadi mirip berandalan, haha...seandainya Misha mau memakai gaun atau rok, Oom pasti udah nangis di depannya". Pandu tertawa lalu menepuk bahu Caesar. "Bisa saja kau ini, ngomong-ngomong, sarapan sudah siap tuh...". "Yeah...nasi goreng ala Pakistan?". "Yup's".

---

Evan memandang sekumpulan bunga Lonceng Desember, namanya Lonceng Desember, tapi sampai Februarypun masih tetap mekar, entah kenapa bunga itu mengingatkannya akan Misha. Oh ya...di halaman depan rumah Misha kan ada bunga itu...Evan jadi nyengir kalau mengingat Misha, semangatnya yang meledak-ledak, cita-citanya yang pengen jadi wartawan perang, wah! Evan jadi tertawa, padahal Misha kan takut banget sama cicak...kadal...gimana mau jadi wartawan perang dan meliput ke Afghanistan?. "Hoi...kayak orang gila aja, ketawa sendiri...", seorang cowok menjajari duduk Evan. "Lagi ingat sesuatu yang lucu aja...", kata Evan. Thomas mengusap peluhnya dengan handuk kecil yang melilit di lehernya. Hari Minggu kayak gini biasanya anak-anak asrama cowok Westside menggunakan waktunya untuk olahraga atau sekedar jogging di sekitar Central Park, menyusuri taman di Westside Park dekat kantor gubernur dan menikmati roti bakar plus susu hangat di pagi hari. Thomas tentu saja punya agenda lain: ngelirik cewek-cewek dengan baju olahraga seksi...wuih, surga dunia deh, banyak cewek asyik jogging juga. Mata Thomas berkeliaran. "Wuih, cakep 'kali tuh...yang pakai celana pendek merah...'that's hot'...wow...". Evan tak menghiraukan ocehan Thomas, cowok itu malah asyik bersandar di bangku taman dan mendengarkan alunan lagu lewat I-Podnya, lagu ini dikasih Misha. Anak itu suka banget lagu-lagu Jepang. Broken Wings-Trinity Blood, First Love dan Exodus Utada Hikaru, 081512, Dear-Laruku, DAI dan BOA...meski Evan mulanya nggak terlalu suka, tapi lama-lama dia menikmati musik itu, meski nggak terlalu paham bahasanya, tapi dia merasa asyik saja mendengarkannya. "Pendapat itu kan beragam, tapi sebaiknya bikinlah pendapat yang enak di dengar, seperti musik...", kata Misha saat Evan bertanya apa dia paham arti lagu jepang itu. "Yang penting aku suka ngedengernya...kalau musik itu kan bahasa universal Van, nggak tahu arti lagunya, kalau dihayati kita bisa tahu, apa maksud pencipta lagunya hanya dari musiknya, hehe, itu menurutku sih".

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang