Broken Wing's
Southside, 13 February 2015
Sayap patahku, masihkah sanggup melewati badai di lautan?
Tapi aku harus melintasi lautan dan tetap terbang....
"Seminggu...", pikir Misha. Baru seminggu...tapi rasanya satu abad sudah berlalu. Evan...kamu pasti lagi sibuk SP yah?. Misha menengok arlojinya. Pukul lima sore, waktu ke kampus tadi, dia seperti melihat Evan dimana-mana. Apalagi gerbang kampus...ah, Evan pernah berdiri di sana, tersenyum. Di luar kamarnya terdengar celoteh ramai anak-anak. Putri asyik mengepas gaunnya, Meta dan Rani asyik berdebat seru tentang apa yang akan mereka kasih ke cowoknya. Valentine. Misha menggaruk rambutnya, buatnya hari yang penuh warna merah jambu itu nggak istimewa. Meski sekelilingnya seolah berwarna pink, hati Misha tetap berwarna biru. "Misha...", Meta menggedor kamar Misha, kaget melihat gadis itu asyik mengerjakan soal-soal matematikanya. "Eh...kamu nggak ada undangan V_Day apa? Kok malah duduk lesu, aih...belajar lagi...Misha...Misha, hidup hanya sekali, mbok ya dinikmati...". "Ini aku lagi menikmati hidup, kepalaku nyut-nyutan nih, tugas dari bu Endang seabrek...hiks!". Meta dengan prihatin memandang Misha, rambut panjangnya dikucir dua, kayak Usagi aja. "Gimana kalau ikut party ku? Ntar kukenalin sama cowok-cowok...temenku cakep-cakep lho...". Misha menggeleng. "Enough! No Boy No Cry...", lalu diberikannya sebuah undangan ke Meta. "Aku juga dapat undangan...dari anak-anak Blackside". Meta melihat undangan berwarna hitam itu. "We invite you to join Dark Valentine in Red House with....bla..bla...". Meta terbelalak. "Gila, undangan ini keren tahu, eh...cowok gondrong yang keren abis itu ikutan gak?". "Yang mana?". "Temenmu...yang pakai jacket hitam ada garis peraknya itu, yang punya toko komputer...". "Oh, si Bram...tentu dia ikut, dia yang bikin tuh undangan...". Meta mengguncang bahu Misha. "So...kamu datang nih?". Misha menggeleng. "Nope...banyak tugas, lagian kau nggak lihat tuh Dress Code nya? Black-Silver! Busyet...mana aku punya baju gituan...dan...aku nggak ada pendamping!". "Kakak sepupumu?". "Sama ceweknya dong". "Katamu mereka dah putus?". "Kakakku mah, sehari aja nggak punya cewek udah rekor...tiga hari lalu baru dapat cewek baru tuh...". "Caesar?". "Intership...jadwalnya padat, mungkin dia malah nggak ingat apa itu Valentine, ah, udahlah, nggak penting...". Meta masih belum menyerah. "Misha...gimana kalau kau ajak Mahendra?".
"Valentine memang gak penting buatmu...tapi ini kan party, banyak kue, makanan...kan sayang tuh, makan gratis lho...ajak saja Hendra". Mulanya Misha tergiur mendengar kata makanan, tapi kalau masalah pergi bareng Hendra...kasihan Hendra, lagipula dia nggak punya gaun hitam, boro-boro gaun, rok aja gak punya. "Nggak usahlah, gini aja Met, kalau kau merasa prihatin dengan keadaanku, mbok ya...please, bawain aku kue sama coklat dari party kamu ya? Please...aku nggak bisa pergi...lagian banyak tugas sih, hehe". Meta tersenyum. "Evan ya?". "Eh?". "Kamu takut menghianati Evan...udah deh, dia nggak tahu ini, kamu pergi sama siapa juga dia nggak punya urusan kan?". Tapi aku takut menghianati Tuhan, pikir Misha. Pesta seperti itu...bukan pilihan yang bagus. Yah, meski dia tahu Bram dan teman-temannya anak yang baik, meski agak terkesan berandalan, tetap saja pesta di cafe and lounge, apalagi sendirian, bisa bahaya, dulu pernah ada cowok yang mencampur minuman Misha dengan obat tidur, untung Bram menolongnya. Saat Misha berterimakasih, cowok bermata kelam itu tersenyum sepertinya sedih sekali. "Kamu anak baik, Misha, dan aku yakin, penampilan berandalanmu hanya untuk menutupi kerapuhan dalam hati kamu, aku masih bisa melihat sifat kanak-kanak kamu...kamu masih polos dan naif...sebaiknya kamu berhati-hati....dunia ini tidak indah".
Bram, kalau mengingat cowok itu, hati Misha seolah ikut sedih, meski berada di tengah keramaian, cowok itu seolah terselubung kesunyian. Misha tak pernah melihatnya tertawa, apalagi terbahak. Hanya tersenyum, kadang sinis, kadang sedih. Apakah luka yang diakibatkan cinta begitu dalam mengoyak hatinya?. Misha merasa sangat beruntung, paling tidak, dia masih bisa melihat Evan, memandang cowok itu tersenyum, mendengar suaranya yang berat saat bicara, ataupun melihat SMS yang dikirim Evan saat dia sedih. Evan hidup. Mecca sudah meninggal...dan Bram hanya bisa bertemu Mecca dalam mimpi dan doa saja, tapi, Tuhan pasti selalu menyampaikan doa Bram untuk Mecca.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
Randomapa kamu juga mengalami malam- malam menyesakkan seperti yang kurasakan. Apa kamu pernah merasa hidupmu tidak membahagiakan dan palsu. apa kamu menyesali ketidakbersatuan kita...apa kamu merindukanku....apa kamu disana bahagia? tapi mungkin jika kit...