Prolog

20.8K 1.2K 15
                                    

"Kami butuh keputusan anda segera, mana yang harus didahulukan? Keselamatan si Ibu atau si Anak? Saran ka..."

"Ibu. Selamatkan ibunya," jawab Keano memotong ucapan dokter wanita dihadapannya dengan nada bicara yang tenang. Tidak ada rasa getar atau takut sama sekali.

Bahkan sang Dokter pun tampak ragu, jika Keano adalah suamiku. Suami dari wanita yang tengah menahan sakit dalam keadaan kritis di ruang bersalin.

"Kalau begitu, kami akan memindahkan istri anda ke ruang operasi," jelas dokter wanita tersebut.

Keano tersenyum dan mengangguk.

Aku mengintipnya dari segaris tipis di mataku yang menjadi celah untuk mengintip.

Aku sudah sadar dari pingsanku. Sehingga bisa mendengar jelas apa yang Dokter dan Keano bicarakan. Apalagi, mereka berbicara di ruangan yang sama denganku. Mungkin kondisi sudah sangat mendesak. Hingga tidak sempat jika harus diskusi di tempat yang jauh lebih private.

Aku menahan rasa sakit yang semakin menjadi ini. Sungguh, rasanya aku sudah tidak sanggup. Bukan karena kondisiku yang sudah sangat kritis ini. Tapi juga rasa sakit yang tak kalah sekaratnya dengan tubuhku, yaitu sesuatu yang ada di balik dadaku.

"Lakukan yang terbaik," jawab Keano tetap tenang.

"Selamatkan ... selamatkan saj... saja anak kami," ucapku cepat sebelum Dokter berkata apapun.

Keano dan Dokter itu melihat ke arahku.

"Tidak ada yang akan mengubah keputusanku," ucap Keano dingin datar. Setelah itu dia keluar meninggalkan luka yang semakin menganga di hati ku.

Air mata ku mengalir hingga kurasa telingaku basah olehnya. Rasa sakit di bagian perut hingga pinggulku sudah tak kurasa. Hatiku jauh lebih sakit. Lebih butuh pengobatan yang intensif.

Bagaimana bisa dia meminta aku diselamatkan? Jika dia sendiri menganggap aku seperti mayat yang tak perlu dikasihani. Bagaimana bisa aku tetap hidup? Jika harus melihatnya yang menganggapku tidak pernah ada disisinya?

Aku pikir dengan adanya seorang anak, aku bisa meluluhkanmu. Tapi nyatanya tuhan juga tidak ingin bekerja sama denganku. Tidak ingin mendukungku. Dengan memposisikan anakku di ujung ajalnya.

Atau mungkin, memang inilah maunya bayiku? Yang memang tidak ingin lahir di tengah-tengah keluarga yang akan segera hancur?

Andaikan memang aku harus hidup. Maka selamatkanlah anakku. Tapi jika memang anakku yang harus kau jemput, Tuhan. Maka ambil saja nyawaku. Atau jika tidak, ambil kami berdua. Jika memang ini setimpal sebagai suatu bentuk balasan.

*********

By :Dmira
VoMent

Indah di Senyum MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang